Datarasio merupakan jenis data paling tinggi, dapat menyatakan sebagai peringkat, menyatakan jarak, dan mempunyai titik nol sebagai titik mutlak,serta dan dapat dioperasikan secara matematik (dijumlah, dibagi,dikurangi dan dikali) Misalnya, besarnya honor kelebihan mengajar dinyatakan dalam rupiah/minggu. d. Data Interval Lewat kisah Firdaus, Nawal menguak kebobrokan masyarakat yang didominasi oleh kaum laki-laki. Sebuah kritik sosial yang keras dan pedas atas budaya patriarkhi yang masih melingkupi masyarakat di negara-negara berkembang. Oleh Siti Rubaidah* Lewat kisah Firdaus, Nawal menguak kebobrokan masyarakat yang didominasi oleh kaum laki-laki. Sebuah kritik sosial yang keras dan pedas atas budaya patriarkhi yang masih melingkupi masyarakat di negara-negara berkembang. Perempuan di Titik Nol adalah sebuah buku yang mengguncang batin siapapun yang membacanya. Ditulis dengan judul Women at Point Zero oleh Nawal el-Sadawi, seorang penulis feminis perempuan Mesir. Di Indonesia, buku ini diterjemahkan oleh Amir Sutaarga dan diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia yang concern mengangkat karya-karya sastra dari negara berkembang, termasuk sastra Arab. Nawal el-Sadawi penulis buku Perempuan di Titik Nol sendiri adalah seorang dokter berkebangsaan Mesir yang dikenal sebagai novelis sekaligus pejuang hak-hak kaum perempuan. Pada tahun 1972, Nawal diberhentikan dari jabatan Direktur Pendidikan Kesehatan dan Pemimpin Redaksi Majalah Health karena tulisan dan pandangannya dianggap terlalu berani dan tidak menguntungkan kepentingan Menteri Kesehatan. Kelahiran buku ini diilhami dari kisah nyata seorang perempuan yang ditemuinya di penjara Qanatir. Melalui Perempuan di Titik Nol, Nawal mengisahkan liku-liku kehidupan Firdaus dari masa kecilnya di desa hingga menjadi pelacur kelas atas di kota Kairo. Ia divonis hukuman gantung karena telah membunuh seorang germo laki-laki. Di dalam penjara, tak sedikitpun ia gentar akan kematian. Bahkan, ia menyambut dengan sukacita hukuman gantung itu. Saat ada kesempatan untuk mengajukan grasi kepada presiden, ia dengan tegas menolak. Menurut Firdaus, vonis itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran sejati. ā€œSetiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk kejahatan yang kau lakukan.ā€ PdTN 169 Nawal menggambarkan situasi khas patriakhis dalam kehidupan Firdaus, sang tokoh Perempuan di Titik Nol ini sebagai berikut ā€œKetika saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu di tangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan air. Sekarang saya telah menggantikan Ibu untuk melakukan pekerjaan yang biasa dilakukannya. Ibu tidak ada lagi, malahan ada seorang perempuan lain yang memukul tangan saya dan mengambil-alih mangkuk itu. Ayah berkata, bahwa dia adalah Ibu saya.ā€ Kemiskinan dan kelaparan telah membuat Firdaus yatim piatu. Sejak saat itu, Firdaus kecil ikut pamannya seorang mahasiswa Al-Azhar di Kairo. Sebagai perempuan, Firdaus kerap mendapatkan pelecehan seksual dari pamannya sendiri. Namun, ia cukup beruntung karena pamannya memasukkannya ke sekolah hingga tamat Sekolah Menengah Atas. Sebuah perjodohan yang diatur oleh istri pamannya. Firdaus memasuki kehidupan baru yang kelam bersama lelaki tua yang sangat pelit dan punya borok di wajahnya. ā€œSuatu hari ia menemukan sisa makanan, dan ia mulai berteriak-teriak begitu kerasnya, sehingga semua tetangga dapat mendengar. Setelah peristiwa itu, ia mempunyai kebiasaan untuk memukul saya, apakah dia mempunyai alasan ataupun tidak.ā€ PdTN 70 Tak tahan dengan pukulan suaminya, Firdaus keluar rumah dan menghadapi kerasnya kehidupan kota Kairo. Perjalanan hidup yang pahit mempertemukan Firdaus dengan Syarifa. Di tangan Syarifa, Firdaus menjadi orang baru. Ia mengungkapkan segi-segi yang tak tampak pada diri Firdaus sebelumnya. Fakta bahwa Firdaus adalah perempuan yang cantik, terpelajar dan punya tarif yang tinggi. Firdaus telah menjadi pelacur di tangan Syarifa. Sebuah perasaan bersalah sempat membawa Firdaus meninggalkan kehangatan kasur empuk dan bantal berkain sutra. Berbekal ijasah Sekolah Menengah Atas, ia mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan dengan gaji yang tak seberapa. Walhasil, ia hanya mampu menyewa kamar kecil di sebuah perkampungan dan harus antri ke kamar mandi setiap pagi. Kemudian berangkat kerja dengan kendaraan umum dan berdesak-desakan dengan penumpang lainnya. Sebuah momen membawanya mengenal sosok Ibrahim, seorang ketua komite revolusioner di perusahaan. Firdaus pun jatuh cinta. Cinta membuat Firdaus seakan-seakan menggengam erat seluruh dunia ditangannya. Dunia menjadi semakin melebar dan matahari bersinar lebih terang dari sebelumnya. Sayangnya, harapan Firdaus yang bermekaran oleh cinta tiba-tiba layu. Ibrahim kawin dengan anak gadis sang presiden direktur. Luka batin yang menghunjam membawanya kembali ke dunia pelacuran. Bagi Firdaus, ā€œLelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip-prinsip sebenarnya tidak banyak berbeda dari lelaki lainnya. Mereka mempergunakan kepintaran mereka dengan menukarkan prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dapat dibeli orang lain dengan uang. Revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami. Sesuatu yang disalahgunakan. Sesuatu yang dapat dijual.ā€ PdTN 145 Sosok Liyan dalam Budaya Patriarkhi Sebagai seorang feminis, Nawal menyadari bahwa dalam budaya patriarkhi perempuan selalu dipandang sebagai sosok liyan. Sebagaimana Simon de Beauvoir meyakini bahwa ada dua jenis hubungan, yakni laki-laki yang mengklaim dirinya sebagai sang diri dan perempuan sebagai yang lain liyan, atau laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek. Beauvoir menyadari tidak mudah bagi perempuan untuk keluar dari penderitaannya karena sudah begitu tertanam peranan stereotip perempuan di masyarakat. Tetapi bila bertekad untuk tidak ingin diperlakukan sebagai sosok liyan maka perempuan harus melancarkan strategi yang jitu. Nawal el-Sadawi ingin menyadarkan bahwa pembebasan kaum perempuan dari budaya patriarkis dan belenggu sistem sosial yang ada hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuan itu sendiri. Perempuan harus memulainya dari pribadinya masing-masing. Perempuan harus bisa terbebaskan dan berani menyingkap tabir pikiran mereka dari kesadaran palsu dan sikap lemah yang selama ini melekat. Dengan kesadaran baru pada diri perempuan inilah yang membuat kaum perempuan tidak berbeda dengan kaum lelaki. Hal ini senada dengan ide strategi jitu Beauvoir. Lewat kisah Firdaus, Nawal juga menguak kebobrokan masyarakat yang didominasi oleh kaum laki-laki. Sebuah kritik sosial yang keras dan pedas atas budaya patriarkhi yang masih melingkupi masyarakat di negara-negara berkembang atau yang dikenal dengan negara dunia ketiga. Kita tahu bahwa negara-negara Arab terkenal sebagai masyarakat yang kedudukan perempuannya dianggap amat terbelakang. Tidak saja dibandingkan dengan negara-negara Barat bahkan dengan masyarakat di Asia dan Amerika Selatan. Namun demikian, Mesir termasuk negara yang lebih dahulu melakukan modernisasi di semenanjung Arab dan negara Islam lainnya di Asia Tengah. Kritik yang tajam dan pedas terhadap kebobrokan sistem politik juga bisa kita temui pada cerita Firdaus yang menolak seorang Kepala Negara. Kita mungkin akan terheran-heran, bagaimana seorang perantara yang membawa misi ini menggunakan standar moral ganda. Ia mengatakan bahwa melayani seorang kepala negara adalah sebuah tindakan patriotik. Firdaus menyadari bahwa seorang perantara tentu saja hanya menjalankan perintah. Tak ada beda baginya menjalankan misi patriotisme mengajak pelacur melayani kepala negara ataukah mendapatkan perintah membunuh. Namun membungkus tindakan yang boleh dibilang amoral dengan istilah patriotik sangatlah lucu. Kisah Firdaus membongkar dunia yang penuh dusta, melihat kebohongan-kebohongan, dan mengendus kemunafikan di sekitar. Firdaus sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan dan harus membayar mahal dengan kematian. Keberanian untuk menanggung resiko atas perbuatannya menjadi pembelajaran berharga bagi semua orang. Judul Buku Perempuan Di Titik Nol Penulis Nawal el-Sadawi Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia Tahun Terbit 2014 Tebal Buku 176 Halaman *Penulis adalah Ketua Divisi Ideologi, DPP API Kartini. Continue Reading
PeringatanHari Anti Perdagangan Manusia di Titik Nol Yogyakarta. Penampakan Barang Diduga Bansos Presiden yang Dikubur di Depok. Atma Jaya Run 2022, Berolahraga sambil Berdonasi Wanita Ini Tak Jadi Menikah dan Rugi Banyak Uang. Viral kisah seorang wanita yang tidak jadi menikah dan rugi banyak uang karena p. Male. Jul 31, 2022.
Ilustrasi Perempuan sumber tidak minta apa-apa, kecuali mungkin hanya satu hal. Untuk diamankan oleh cinta dari segalanya. Untuk menemukan diri saya kembali, untuk mengenali diri-sendiri yang telah hilang. Untuk menjadi makhluk manusia yang tidak dilihat orang dengan caci-makian, atau dengan pandangan rendah, tetapi dihormati, disukai dan dijadikan merasa utuh." Nawal el Saadawi, hal. 141Kutipan di atas adalah sepenggal dialog dalam buku Perempuan di Titik Nol, sebuah novel yang ditulis oleh Nawal el Saadawi, seorang dokter dari bangsa Mesir, juga seorang penulis dengan karya-karyanya yang bersangkutan dengan memperjuangkan hak-hak perempuan, maka ia dikenal sebagai feminis dengan reputasi Internasional."Saya tahu bahwa profesi saya diciptakan oleh seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak." Nawal el Saadawi, hal. 133"Saya bukan pelacur. Tapi sejak semula, ayah, paman, suami saya, mereka semua mengajarkan untuk menjadi dewasa sebagai seorang pelacur.""Sayalah satu-satunya perempuan yang telah membuka kedok mereka dan memperlihatkan muka kenyataan buruk mereka. Mereka menghukum saya sampai mati bukan karena saya telah membunuh seorang lelaki-karena mereka takut untuk membiarkan saya hidup.""Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejatahan yang kau lakukan." ucapnya ketika ditawari harapan bebas dari hukuman. BukuTitik Nol merupakan sebuah catatan perjalanan panjang penulis sendiri, Agustinus Wibowo, yang juga memuat refleksi dari suatu perjalanan dan kisah sang Ibunda yang berjuang menghadapi kanker. Dalam buku Titik Nol ini, pembaca akan mengenal sosok penulis yang memiliki dua karakteristik berbeda. Karakteristik yang pertama adalah sosok yang NOVEl INI MERUPAKAN kisah yang diceritakan o l eh perempuan bernama Firdaus dari sel penjaranya, tempat dia menunggu pelaksanaan hukuman matinya. Dia telah memĀ­ bunuh seorang lelaki. Saya tak ingin mendahului pembaca untuk membaca sendiri alur cerita yang sangat keras, amat pedas, yang penuh dengan kejutan-kejutan yang menggoncangkan perasaĀ­ an, yang rnengandung pula jeritan pedih, protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap perernpuan, sebagai yang diĀ­ derita, dirasakan, dan dilihat oleh perernpuan itu sendiri. Yang patut saya catat adalah rasa kebebasan dan keberaniĀ­ an pengarang buku ini sendiri untuk rnenghadapi reLlksi-reaksi rnasyarakat Mesir. Saya rnendengar dari seorang kawan, bahwa buku ini pun mendapat berbagai reLlksi dari pembacanya di Mesir sendiri. Bagaimana perasaan pembaca tidak akan tergoncang seakan dilanda badai yang bergerak dengan kecepatan 200 kilometer tiap jam, jika membaca, urnpamanya, hal-hal sebagai berikut - Betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi, semua lelaki yang saya kenai, tiap orang di antara mereka, telah mengobarĀ­ kan dalam diri saya hanya satu hasrat saja untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka merekd. Akan tetapi karena saya seorang perempuan, saya tidak merniliki keĀ­ beranian untuk melakukannya. Dan karena saya scorang pelacur, saya sembunyikan rasa takut saya di bawah lapis-lapis solekan muka saya. - Saya dapat pula mengetahui, bahwa semua yang rneĀ­ merintah adalah laki-Iaki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul duit, mendapatkan seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis, dan menembakkan panah beraclin. Karena itll, kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatĀ­ nya say a menernukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu. - Ketika mereka meneriakkan kata "patriotisme," dengan segera saya tahu, bahwa dalarn hati mereka tidak takut pada Allah, dan bahwa dalam benak mereka, patriotisme mereka itu adatah yang miskin harus mati untuk membela tanah yang kaya, tanah rnereka, karena saya tahu bahwa orang yang miskin tidak memiliki tanah. - Seorang pelacur yang sukses lebih baik dari seorang sllci yang sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempllan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, rnenindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukurn mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan, dan menghukurn mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau rnenghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan. - Lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip sebenarĀ­ nya tidak banyak berbeda dari lelaki lainnya. Mereka memĀ­ pergunakan kepintaran mereka, dengan menukarkan prinsip rnereka untuk mendapatkan apa yang dapat dibeli orang lain dengan uang. Revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami. Sesuatu yang disalahgunakan. Sesuatu yang dapat dijual. Mochtar Lubis - Saya tahu bahwa profesiku ini telah dieiptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki rnenguasai dua dunia kita, yang di burni ini, dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan rnenjual tubuh rnereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perernpuan adalah pelacur dalarn satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelaeur bebas daripada seorang isteri yang diperbudak. - Saya mengatakan bahwa kamu semua adalah penjahat, kamu semua para bapak, paman, suami, gerrno, pengaeara, dokter, wartawan, dan semua lelaki dari sernua profesi. Itulah beberapa euplikan dari jeritan penderitaan dan pemĀ­ berontakan wanita tertindas di Mesir. Relevansinya bagi Kita di Indonesia SEBAGAI SEORANG LELAKI saya rnenundukkan kepala saya rnenghadapi tuduhan dan kutukan yang begini dahsyat dari perernpuan. Saya berharap agar lelaki Indonesia yang rnemĀ­ baea novel ini mau membuka hati dan pikiran mercka untuk rnenerima serangan dahsyat dari Firdaus, tokoh sentral dalam eeritera ini, dan semoga mendorong kita untuk sungguh-sungguh rnemikirkan pula masalah dan kedudukan perernpuan Indonesia di tanah air kita. Oi Indonesia lelaki amat mudah mengatakan bahwa perempuan amat dipuja dan dihormati dalarn kebudayaan bangsa Indonesia. Tidakkah kata perempuan itu sendiri berasal dari kata Nempu" yang penuh dengan pengertian penuh kehorĀ­ matan dan kesaktian? Akan tetapi tidakkah pula dalam praktekĀ­ nya rnasih banyak perempuan Indonesia yang benar-benar hidup hanya untuk melayani dan mengabdi pada sang suami belaka? Ketika melakukan sebuah pekerjaan kurang-Iebih satu tahun lampau di NTT, saya masih menemukan di Pulau Alor, seorang tua yang secara teru5-terang mengatakan bahwa dia rnernpunYJi isteri sembiIan orang dan anak lebih dari 28 orang. Ketika saya tanyakan, apakah dia beragama Kristen, dia mengaĀ­ takan benar. Dan ketika saya tanya bagaimana sebagai seorang Kristen dia mungkin mengawini begitu banyak isteri, dengan tersenyurn dia menjawab, "Saya hanya kawin satu kali di gereja. Tetapi yang lainnya saya kawin dengan cara adat!" Meskipun telah ada Undang-Undang Perkawinan yang mengharuskan suami Islam untuk mendapatkan persetujuan terlulis dari isteri pertamanya, jib dia hendak rnengawini perempuan lain, tetapi dalam prakteknya ternyata rnasih dapat terjadi seorang suami beragama Islam mengawini perempuan lain, tanpa izin tertulis ini. Ataupun jika dapat izin tertulis, cukup banyak cara dapat dilakukan seorang suami IJntuk menekan isteri agar mau menand xiii Mochtar Lubis jalan kaki berkilometer, yang rajin bangun pagi dan menyiapĀ­ kan santapan bagi suami dan anak-anaknya, dan berbagai pelayanan dan dinas lain yang harus dilakukannya untuk meĀ­ nyenangkan sang suami. Dan tidak ada sepatah kata mengenai kesenangan dan hak-haknya sebagai seorang isteri dan perempuan. Saya heran melihat banyak perempuan di kota-kota besar di tingkat kedudukan tertentu yang kedudukan suami mereka mencukupi atau malahan berlebihan dalam kebendaan dan status sosial, yang j ika kita katakan pada mereka, bahwa perempuan Indonesia harus berjuang terus untuk mendapatĀ­ kan kedudukan dan hak-hak yang benar-benar sam a dengan lelaki, memperlihatkan sikap sudah puas diri-sendiri. Karena mereka telah dapat hidup layak, malahan ada yang hidup berkelebihan, mereka tidak lagi dapat melihat bahwa masih puluhan juta perempuan Indonesia yang masih terikat dalam pembatasan-pembatasan kedudukan dan peran tradisional yang ditetapkan akibat seks mereka selama ini. lebih dari itu, juga masih banyak yang belum sadar, bahwa keadaan seperti ini merupakan satu ketidakadilan yang harus dihapuskan. Moga-moga dengan membaca buku Nawal el-Saadawi yang dahsyat ini, baik perempuan maupun lelaki Indonesia tergerak hati dan pikirannya untuk memikirkan kembali dengan penuh keterbukaan berbagai kekurangan dan ketidakadilan yang masih menimpa hak-hak dan kedudukan perempuan Indonesia dalam masyarakat kita sekarang. xiv Sekapur Sirih dari penuhj __ VA MENULIS NOVEL ini sesudah bertemu dengan seorang wanita di renjdra Qanatir. Bcberapa bulan sebelumnya, saya telah l11ulai dengan penelitiJn tentJng penyakit syaraf neurosis di kalangan para wan ita Mesir, dan saya dapat memusatkan lebih banyak \Vaktu pada pekerjaan ini karena ketika itu saya sedang menganggur. Pada akhir tahun 1972 Menteri Kesehatan telah memberhentikan saya dari jabatan Direktur Pendidikan KesehatĀ­ an dan Pemimpin Redaksi Majalah Health. Ini suatu akibat lain dalam perjalanan hidup yang saya pilih sebagai seorang penulis dan pengarang feminis yang pandangan-panddngannya diĀ­ anggap tidak menguntungkan oleh para penguasa. Sekal ipun demikian, situasi ini telah banyak memberikan waktu kepada saya untuk berpikir, menu lis, melakukan peĀ­ nelitian, dan untuk melakukan konsultasi-konsultasi dengan para wanita yang datang menemui saya. Tahun 1973 merupakan tahap baru dalam kehidupan saya; tahun itupun telah menjadi saksi bagi kelahiran novel saya berjudul Firdaus, atau Wom en at Point Zero Perempuan di Titik Nol. Gagasan bagi penelitian saya itu sebenarnya m uncul sebagai suatu hasil konsultasi dengan para wanita yang telah minta nasihat dan bantuan saya dalam menangani situasi-situasi yang menjurus ke arah "tekanan-tekanan batin" baik yang berat atau lebih ringan. Saya memutuskan untuk memilih sejumlah xv Sekapur Sirih dari Penulis kasus tertentu di antara para wanita yang menderita penyakit syaraf neurosis, dan ini berarti kunjungan-kunjungan yang teratur pada sejumlah rumah sakit dan beberapa puskesmas. Gagasan tentang "penjara" senantiasa memikat perhatian saya secara khusus. Seringkali saya ingin mengetahui bagaiĀ­ manakah kehielupan di penjara itu, teristimewa bagi para wanita. Barangkali hal ini karena saya hidup eli suatu negeri di mana banyak cendekiawan penting-penting di sekitar sayJ telah beberapa kali masuk eli penjara untuk waktu tertentu penjara karena "kejahatan politik." Suami saya telah dipenjara selama 13 tahun sebagai "tahanan politik.'" Demikianlah, sehingga ketika saya pada suatu hari bertemu secara kebetulan dengan salah seorang dokter dari Penjara Wanila di Qanatir, saya tidak dapat menahan diri untuk bertukar pikiran dengannya; tiap kita saling berjumpa kita akan bertukar pikiran. la menceriterakan kepada saya berbagai hal mengenai para wanita yang dipenjarakan, karena pelbagai macam pelanggarĀ­ an, dan khususnya mengenai mereka yang menderita gangguĀ­ an penyakit syaraf neurosis dalam pelbagai derajat, dan mengunjungi klinik kesehatan jiwa setiap minggu di Rumah Sakit Penjara Qanatir. Saya makin lama makin tertarik, dan perlahdn-Iahan gagasan untuk mengunjungi penjara itu dan menemui para wanita di situ makin tumbuh dalam pikiran saya. Pertama kali saya melihat dalamnya penjara adalah dalam "film-film politik," tetapi sekarang saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi penjara sebenarnya. Gagasan itu malahan makin mendesak ketika kawan saya, dokter penjara itu, mulai berĀ­ ceritera panjang lebar tentang seorang wanita yang telah membunuh seorang laki-taki dan sedang menunggu peĀ­ laksanaan hukuman mati dengan cara digantung. Saya belum xvi Perempuan di Titik Nol pernah melihat seorang wan ita yang telah melakukan pembunuhan. Dokter penjara itu berkata, bahwa ia akan mengajak saya untuk menjumpai wanita itu, dan memperlihatkan wanitaĀ­ wan ita lainnya yang dipenjarakan, dan sedang menderita gangguan-gangguan mental. Dengan perantaraannyalah saya telah memperoleh izin khusus supaya dapat mengunjungi Penjara Qanatir sebagai seorang psikiater dan untuk meĀ­ meriksa wanita-wanita tersebut. la tertarik pada hal yang saya rencanakan, sehingga ia menemani saya ke penjara dan berĀ­ sama berkeliling di dalamnya. Pada saat saya memasuki gedung penjara lewat pintu gerbang, saya hanyut oleh perasaan sedih melihat pemandangan gedung-gedung yang suram, jendelaĀ­ jendela yang berterali besi dan kesan kekerasan yang meĀ­ nyeluruh dari lingkungannya. Seluruh tubuh saya bergetar. Sedikit pun saya tak tahu, bahwa pada suatu hari saya akan melangkah memasuki gedung itu melalui pintu gerbang yang sama, tidak sebagai psikiater, tetapi sebagai seorang yang dipenjarakan karena ditangkap bersama dengan orang lainnya dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Sadat pada tanggal 5 September 1981. Tetapi pada pagi di musim gugur lahun 1974 ilu kemungkinan bahwa diri saya sebagai terĀ­ hukum berada di balik tembok-ternbok yang menguning, yang menjulang tinggi dan kosong ilu, tak pernah muncul dalam benak saya. Ketika saya melintasi laman di dalam penjara itu, saya dapat melihat sepintas wajah-wajah para wanita, mengĀ­ intai di balik jeruii-jeruji besi seperti binatang, dengan jariĀ­ jarinya yang berwarna putih atau coklat memegang erat besi yang hitam ilu. Pertama kali, Firdaus rnenolak untuk menerima saya di dalam selnya, tetapi kemudian dia setuju untuk bertemu xvii Sekapur Sirih dari Penulis dengan saya. Sedikit demi sedikit ia telah dapat saya bujuk untuk menceriterakan kisahnya, seluruh kisah tentang hidupĀ­ nya. Kisahnya mengerikan tetapi sangat memukau. 8egitu ia mengungkapkan kisah hidupnya kepada saya, makin lama makin banyak saya ketahui mengenai dirinya. Perasaan sa y a tergugah dan takjub terhadap wanita ini yang bagi saya begitu luar biasa dalam dunia wanita yang telah biasa bagi saya. Demikianlah, kemudian, tiba harinya saya mulai berpikir untuk menulis novel, yang kelak akan dikenal sebagai Perempuan di Titik No! atau Firdaus. Tetapi untuk sementara waktu saya dapati diri saya sibuk dengan banyak wanita yang telah diperl ihatkan kawan dokter saya itu di dalam sel-sel penjara dan di klinik kesehatan jiwa karena mereka itu termasuk kasus kajian pendalaman jiwa sejumlah 20 orang dalam rangka lIsaha penelitian saya, yang hasilnya telah dipublikasikan dalam tahun 1976, dengan judul Women and Neurosis in Egypt. Tetapi Firdaus tetap wanita yang khusus. la menonjol di antara para wanita yang lain, bergetar dalam diri saya, atau kadang-kadang diam, sampai pada hari saya mencantumkan dengan tinta di atas kertas dan memberinya hidup sesudah mati. Sebab, pada akhir tahun 1974, Firdaus telah menjalani hukuman mati, dan saya tidak melihatnya lagi. Tetapi entah bagaimana ia selalu terbayang di depan mata saya. Saya dapat melihatnya, menelusuri garis-garis dahi, bibir dan matanya, mengamati ketika ia bergerak dengan sikap anggun. Ketika musim gugur tahun 1981, tiba giliran saya dihukum penjara, saya mengamati wanita-wanita lain yang dipenjarakan bila mereka berjalan-jajan di taman seakan-akan mencari dia, mencoba untuk menangkap sekilas kepalanya yang selalu tegak demikian anggun, gerak-gerik tangannya yang serba xviii Perempuan di Titik Nol tenang, atau pandangan yang tegar dari matanya yang berwarna coklat. Saya belum yakin benar bavwa ia telah tiada. Selama tiga bulan saya dipenjara, saya telah berjumpa dengan wan itaĀ­ wan ita yang dipersalahkan telah membunuh seorang laki-Iaki, beberapa di antara mereka mengingatkan saya kembali kepada Firdaus; padahal tidak seorang pun di antara mereka itu seperti Firdaus. Firdaus tetap unik. Bukan saja penampilannya, caranya berjalan, keberanian, atau gaya ia melihat kepada saya dari kedalaman matanya,sangat membedakannya dari wanitaĀ­ wanita lain, tetapi penolakannya yang mutlak untuk tetap hidup, sikapnya yang mutlak tak gentar menentang maut. Firdaus adalah kisah seorang wan ita yang telah didorong oleh rasa putus asa ke pojok yang paling kelam. Wanita ini, sekalipun muak dan putus asa, telah menghidupkan dalam hati mereka yang seperti saya sendiri, menjadi saksi saat-saat akhir hidupnya, suatu kebutuhan untuk menantang dan melawan kekuatan-kekuatan tertentu yang telah merampas hak manusia untuk hidup, untuk bercinta dan menikmati kebebasĀ­ an yang nyata. Nawal el-Saadawi Mesir, September 1983 xix ,... J NI ADALAH KISAH seorang wanita sejati. Saya telah berjumpa dengannya di Penjara Qanatir beberapa tahun yang lalu. Saya sedang melakukan penelitian mengenai kepribadiĀ­ an suatu kelompok wan ita yang dipenjarakan dan ditahan, karena dijatuhi hukuman atau dituduh melakukan berbagai pelanggaran. Dokter penjara, seorang laki-Iaki, menceriterakan kepada saya bahwa wanita ini telah dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh seorang laki-Iaki. Tetapi ia tidak seperti wanitaĀ­ wan ita pembunuh lainnya yang ada di dalam penjara tersebut. "Anda tidak akan pernah menjumpai orang seperti dia di dalam maupun di luar penjara ini. la menolak semua pengunjung, dan tidak mau berbicara dengan siapa pun juga. Biasanya ia tidak menyentuh makanan sama sekali, dan tetap tidak tidur sampai pagi hari. Kadang-kadang penjaga penjara mengamati apabila dia sedang duduk sambil memandang dengan kosong ke depan berjam-jam lamanya. Suatu hari ia minta sebuah pena dan kertas, kemudian ia habiskan waktu berjam-jam lamanya dengan membungkuk di atas pena dan kertas itu tanpa bergerak. Si penjaga tidak dapat mengatakan apakah ia menulis sebuah surat atau berbuat yang lainnya. Barangkali ia sama sekali tidak menulis apa-apa." Saya bertanya kepada dokter penjara, "Apakah ia mau bertemu dengan saya?" 3 Na wal el-Saada wi "Saya akan mencoba membujuknya untuk berbicara dengan Anda barang sesaat," katanya. "Mungkin ia setuju jika saya jelaskan bahwa Anda adalah seorang psikiater, dan bukan salah seorang pembantu Jaksa Penuntut Umum. la menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Malahan ia pun menolak untuk menandatangani permohonan kepada Presiden supaya dengan begitu hukumannya dapat diubah menjadi hukuman kurungan badan seumur hidup." Si apakah yang membuat surat permohonan itu untuknya?" tanya saya. Sayalah yang membuatnya," katanya. "Terus terang sesungguhnya saya merasa bahwa dia bukan pembunuh. Bila Anda memandang muka, matanya, Anda tak pernah akan percaya, bahwa seorang wanita yang begitu lemah-Iembut dapat membunuh." "Siapa bilang bahwa suatu pembunuhan tidak mengĀ­ hendaki seseorang yang lemah-Iembut?" la memandang kepada saya dengan sikap heran sekejap lamanya, dan kemudian tertawa gelisah. "Pernahkah Anda membunuh seseorang?" "Apakah saya seorang wanita lemah-Iembut?" jawab saya. la memalingkan kepalanya ke satu sisi, menunjuk pada sebuah jendela yang amat kecil, dan berkata, "Itulah selnya. Saya akan pergi ke sana dan berusaha membujuknya supaya datang dan menemui Anda." Tak lama kemudian ia kembali tanpa dia. Firdaus telah menolak untuk menemui saya. Saya sebenarnya bermaksud untuk memeriksa beberapa wanita lainnya yang dipenjarakan hari itu, tetapi sebaliknya, saya masuk ke dalam mobil dan pergi. Di rumah saya tak dapat berbuat sesuatu. Saya harus 4 Perempuan di Titik Nol memeriksa kembali rancangan naskah buku saya yang terakhir, tetapi saya tak sanggup memusatkan pikiran. Tak lain yang saya pikirkan hanyalah wanita yang bernama Firdaus itu, dan yang sepuluh hari lagi akan dibawa ke tiang gantungan. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali saya telah berada lagi di pintu gerbang penjara. Saya minta izin kepada seorang sipir wan ita untuk melihat Firdaus, tetapi dia berkata "Tiada gunanya, Dokter. la tidak akan mau menemui Anda." "Mengapa?" "Mereka akan menggantungnya beberapa hari lagi. Apa gunanya Anda, atau orang lain bagi dia? Biarkan saja dia!" Ada nada marah dalam suaranya. la melihat pad a saya dengan pandangan marah, seakan-akan sayalah yang akan menggantung Firdaus beberapa hari lagi. "Saya sama sekali tidak berurusan dengan para penguasa, baik di tempat ini maupun di tempat yang lain," kata saya. "Itulah yang selalu mereka katakan semua," katanya dengan sikap marah. "Apa sebabnya kau naik pitam?" tanya saya. "Kau pikir Firdaus itu tidak bersalah, bahwa dia tidak membunuh orang itu?" Dia menjawab dengan sikap yang lebih galak, "Pembunuh atau bukan, dia adalah seorang wanita yang tidak bersalah dan dia tak perlu dihukum gantung. Mereka itulah orang-orangnya yang harus digantung." "Mereka? Siapakah mereka itu?" la melihat kepada saya dengan sikap curiga dan berkata, "Lebih baik Anda katakan kepada saya, siapa sebenarnya Anda ini? Apakah mereka itu yang mengirim Anda kemari?" 5 Nawal el-Saadawi "Siapa yang Anda maksud dengan 'mereka'?" tanya saya lagi. la melihat keliling dengan hati-hati, hampir ketakutan, dan melangkah, mundur menjauhi saya. '''Mereka' ... Maksud Anda mengatakan bahwa Anda tidak kenai mereka itu?" "Tidak," kata saya. la mengeluarkan bunyi tertawa yang pendek dan penuh ejekan sambil berlalu. Saya mendengar ia bergumam kepada dirinya sendiri "Bagaimana mungkin bahwa ia sendiri saja yang tidak mengenal mereka?" SAYA KEMBALI KE PENJARA beberapa kali, tetapi semua daya upaya saya untuk menemui Firdaus tidak berhasil. Saya merasa bagaimanapun juga bahwa penelitian saya dalam keadaan gawat. Terus terang, seluruh kehidupan saya kelihatannya diancam kegagalan. Kepercayaan pada diri sendiri mulai goncang dan saya mengalami saat-saat yang penuh kesulitan. Menurut pandangan saya seakan-akan wanita ini yang telah membunuh seorang mahkluk manusia, dan sebentar lagi akan dibunuh juga, merupakan pribadi yang jauh lebih baik dari saya sendiri. Dibandingkan dengan dia, saya hanyalah seekor serangga kecil yang sedang merangkak di tanah di antara jutaan serangga lainnya. Tiap kali saya teringat akan ekspresi di mata sipir atau dokter penjara, ketika mereka berbicara tentang ketidak- 6 Perempuan di Titik Nol acuhannya yang menyeluruh terhadap segala hal dan sikap menolak segala-galanya ditambah sikap penolakan untuk menemui saya, perasaan yang mencekam bahwa saya tak berdaya, dan tak berarti apa pun terus bertambah. Sebuah pertanyaan tetap berputar-putar di dalam benak saya "Wanita macam apa dia? Sejak dia menolak saya, apakah hal itu berarti bahwa dia adalah pribadi yangrfeblh'baik dari saya? lagi pula, dia pun menofak untuk mengirim perĀ­ mohonan kepada Presiden supaya melindunginya dari tiang gantungan. Apakah itu merupakan tanda bahwa dia febih baik dari Kepala Negara?" S a y a tercekam o l e h suatu perasaan yang boleh dikatakan pasti, tetapi sulit dijefaskan, bahwa ia sebenarnya lebib baik daripada semua orang lakiĀ­ laki maupun wanita yang telah biasa kita dengar, lihat, atau ketahui. Saya berusaha untuk mengatasi kesulitan untuk bisa tidur, tetapi sebuah pikiran lain memenuhi otak saya sehingga saya tetap jaga. Ketika dia menolak menemui saya, apakah dia tahu siapa saya, atau apakah dia menolak saya tanpa mengenal diri saya? Keesokan paginya, saya tefah berada di penjara lagi. Saya tidak bermaksud berusaha menemui Firdaus, sebab saya telah kehifangan harapan. Saya sedang menunggu sipir atau dokter penjara. Dokter befum juga tiba namun saya menjumpai sipir. "Apakah Firdaus berkata kepada Anda bahwa dia mengenal saya?" tanya saya. "Tid k, ia tidak mengatakan apa-apa," jawab sipir. "Tetapi dia mengenal "Bagaimana Anda tahu, bahwa dia mengenal saya?" "Saya dapat menerka perasaannya. H Saya berdiri terpaku seperti berubah menjadi batu. Sipir 7 Nawal e/-Saadawi meninggalkan saya untuk pergi melakukan tugasnya. Saya berusaha untuk bergerak, untuk pergi ke mobil saya dan berangkat, tetapi gaga!. Suatu perasaan aneh yang memberat menekan hati dan tubuh saya, menghilangkan tenaga di kaki saya. Sebuah perasaan yang lebih berat dari beratnya seluruh bumi ini, seolah-olah saya bukan berdiri, malah berbaring entah di mana di bawahnya. Juga iangit teiah mengalami perubahan; warnanya teiah berubah menjadi hitam, seperti warna bumi, dan menekan saya ke bawah dengan berat yang bertambah. Perasaan ini pernah saya ketahui sebelum peristiwa ini, beberapa tahun yang teiah lampau. Saat itu saya jatuh cinta kepada seorang pria yang tidak membalas cinta saya. Saya merasa ditoiak, bukan saja oieh dia, bukan saja oleh satu orang di antara sekian juta yang menghuni dunia yang padat ini, tetapi oieh setiap makhluk atau benda yang ada di bumi ini, oleh dunia yang luas itu sendiri. Saya luruskan bahu saya, berdiri setegak mungkin dan menarik napas dalam-dalam. Beban di kepala saya berĀ­ kurang. Saya mulai memandang sekeliling saya dan merasa heran ketika menyadari bahwa saya berada di penjara pada waktu sepagi ini. Sipir membungkuk, meĀ­ nyikat lantai lorang gedung yang berubin. Saya diliputi perasaan jijik luar biasa terhadapnya. Dia tidak lebih dari scorang wan ita yang sedang,men;1bersihkan lantai gedung '-.. - penjara. Dia tidak bisa membaca atau menulis dan tidak tahu apa-apa tentang ilmu jiwa, jadi apa sebabnya sampai saya mudah percaya bahwa perasaannya benar? Firdaus sesungguhnya tidak mengatakan bahwa ia mengenal saya. Sipir itu saja yang menduganya. Mengapa hal itu menjadi tanda bahwa sesungguhnya Firdaus mengenal saya, tidak 8 Perempuan di Titik Nol ada alasan bagi saya untuk merasa sakit hati. Penolakannya untuk bertemu dengan saya bukan d ituj ukan kepada di ri saya pribadi, tetapi terhadap dunia dan setiap orang yang ada di dunia ini. Saya mulai melangkah menuju mobil saya dengan maksud untuk meninggalkan tempat itu. Perasaan-perasaan subjektif semacam yang mengekang saya tidak layak bagi seorang pakar ilmiah. Saya hampir tersenyum sendiri ketika saya membuka pintu mobil saya. Sentuhan pada permukaan mobil itu telah membantu saya untuk menemukan identitas saya kembali, harga diri saya sebagai seorang dokter. Apa pun keadaannya, seorang dokter sudah tentu lebih dihargai daripada seorang wanita yang telah dihukum mati karena membunuh. Sikap wajar saya terhadap diri-sendiri suatu sikap yang jarang lepas dari diri saya berangsur-angsur kembali. Saya putar kunci kontak dan saya tancap gas, sambil melemparkan perasaan yang datang dengan mendadak yang kadang-kadang menghantui diri saya di saat-saat kegagalan, seakan-akan saya ini hanya seekor serangga yang tak berarti, yang sedang merayap di antara beribu-ribu ekor serangga lainnya yang sama. Terdengar suara di belakang saya, lebih keras dari suara deru mobil UDokter! Dokter!H Itu suara sipir. la lari menghampiri saya dengan napas terengah-engah. Suara napasnya mengingatkan saya pada suara-suara yang seringkali saya dengar dalam mimpi-mimpi saya. Mulutnya melebar, dan begitu pula bibirnya, yang tetap membuka dan menutup dengan gerakan mekanis, seperti sebuah pintu yang bisa membuka dan menutup sendiri. Saya dengar dia berkata, NFirdaus, Dokter! Firdaus ingin 9 Nawal el-Saadawi bertemu dengan Anda!" Dadanya turun-naik dengan kuatnya, tarikan napasnya menjadi suatu rangkaian hembusan yang amat cepat, dan mata serta mukanya memantulkan suatu emosi luar biasa. Bila Presiden Republik secara pribadi minta saya datang menghadap kepadanya, kiranya si sipir penjara ini tidak akan hanyut oleh perasaan emosi yang berlebihan seperti ini. Sebaiknya, malahan napas saya menjadi lebih cepat, seperti ketu laran, atau lebih tepat, saya kekurangan napas, karena jantung say a berdenyut lebih keras daripada biasa. Saya tidak tahu lagi bagaimana saya ke luar dari mobil, juga tak tahu lagi bagaimana saya mengikuti sipir begitu dekat di belakangnya, sehingga kadang-kadang saya menyusulĀ­ nya, atau malahan mendahuluinya. Saya berjalan dengan langkah-Iangkah yang cepat dan ringan, seakan-akan kaki saya tidak membawa badan saya. Diri saya penuh dengan perasaan yang menyenangkan, bangga dan bahagia. langit berwarna biru dengan biru yang dapat saya tangkap dengan mata saya. Saya genggam seluruh dunia dalam kepalan saya; dunia ini milik saya. Perasaan yang pernah saya rasakan sekali di masa lalu, bertahun-tahun yang lalu. Saya sedang berjalan menuju pria pertama yang saya cintai untuk pertama kalinya. Saya berhenti sebentar di depan sel yang ditempati Firdaus untuk mengatur kembali napas dan merapikan kerah baju saya. Tetapi saya sedang mencoba untuk memĀ­ peroleh ketenangan saya, untuk kembali pada keadaan saya yang wajar, kesadaran bahwa saya adalah seorang pakar ilmiah, seorang psikiater, atau sejenis itu. Saya mendengar anak kunci yang diputar ke dalam lubang kunci, berbunyi kasar, berisik. Suara itu mengembalikan diri saya sendiri. 10 Perempuan di Titik Nol Tangan saya mempererat genggaman pada tas kulit, dan 'iuatu suara dalam diri saya berkata, "Siapakah gerangan wanita yang bernama Firdaus itu? Dia hanyalah... " Tgtapi kala-ka ta da I am hati i tu segera berhenti. SekJnyong-konyong kami berhadapan muka. Saya berdiri lerpaku diam, tak bergerak. Saya tidak mendengar denyut Jantung saya, maupun bunyi anak kunci yang telah diputar kembali di lubangnya, menutup pintu yang berat itu di belakang saya. Seakan-akan saya mati di saat matanya menatap mata saya. Mata yang mematikan, seperti sebilah pisau, menusuk-nusuk, menyayat jauh ke dalam, mata itu menatap lanpa bergerak, tetap. Tak berkedip sedikit pun. Tak ada ural sekecil apa pun pada wajah yang bergerak. Saya sadar kembali oleh suatu suara. Suaranya mantap, menyayat ke dalam, dingin bagaikan pisau, tak ada getaran sedikit pun dalam nadanya. Tak ada riak irama sedikit pun. Saya dengar ia berkata "Tutup jendelanya." Saya bergerak menuju jendela tanpa melhat dan meĀ­ nulupnya, melayangkan pandangan heran sekitar ruangan ilu. Tak ada apa-apa dalam sel ilLi. Tak ada tempal lidur, dtau kursi, atau apa pun yang dapat saya duduki. Saya clengar dia berkata "Duduklah di lantai." Badan saya membungkuk lalu ducluk di lantai. Saat itu bulan Januari elan lantainya tanpa alas, tetapi saya tak meĀ­ rasakan dinginnya. Seperti berjalan dalam tidur. Lantai eli bawah saya dingin. Sentuhan yang sama, kemantapan dan rasa dingin telanjang yang sama pula. Tetapi rasa dingin itu ticlak menyentuh saya, tidak mencapai saya. Rasa elingin lautan di dalam mimpi. Saya berenang mengarungi airnya. 11 Nawa/ e/-Saadawi Saya telanjang dan tak pandai berenang. Namun saya tak merasakan dinginnya, juga tidak tenggelam di dalamnya. Suaranya pun seperti suara yang terdengar oleh orang yang sedang mirnpi. Suaranya dekat saya, tetapi seakan-akan datang dari jauh, ber bicara dari jarak yang jauh tetapi timbul dari dekat. Karena kita tidak tahu dari mana suara itu muncul dari atas atau bawah, kiri ataupun kanan. Kita mungkin berpikir datangnya dari dalam bumi, jatuh dari atas atap, atau dari surga. Atau mungkin pula s uara itu mengalun dari segala jurusan, seperti udara yang bergerak dari angkasa tiba di telinga kita. Tetapi ini bukanlah impian. Ini bukan udara yang berĀ­ hembus ke dalam telinga saya. Wanita yang duduk di lanlai di depan saya benar-benar seorang wan ita, dan s uara yang memenuhi telinga saya dengan bunyinya, bergema di dalam ruangan sel, yang jendela serta pintunya lertutup rapat itu, hanyalah suara belaka, suara Firdaus. 12 B IARKAN SAYA BERBICARA jangan memotong pemĀ­ bicaraan saya. Saya tak punya waktu untuk mendengarkan Anda. Mereka akan datang menjrmpllt saya pukul enam malam ini. Besok pagi saya tak akan berada di sini lagi. Saya juga tidak akan berada di tempat mana pun yang diketahui orang. Pcrjalanan ke suatu tempat yang tak seorang pun di dunia ini tahu letaknya, memenuhi diri saya dengan rasa bangga. SeĀ­ umur hidup saya telah mencari sesuatu yang akan mengisi diri saya dengan perasaan bangga, membuat saya merasa lebih lInggul dari siapa pun juga, terrnasuk para raja, pangeran dan para penguasa. Tiap kali saya mengambil surat kabar dan menrmukan gambar seorang lelaki yang merupakan gambar salah seorang dari mereka, saya akan meludahinya. Saya tahu, bahwa saya hanya menjatuhkan I udah di atas lembaran surat kabar yang saya perlukan untuk mengalasi lemari dapur. Tetapi bagaim,mapun juga, saya ludahi, dan saya diamkan ludah itu <;ampai mengering. Setiap orang yang melihal saya meludah di alas gambar itu l11ungkin berpikir bahwa saya mengenal lelaki tertentu itu <;'CJra pribadi. Tidak! Saya hanyalah seorang perempuan. Dan I,lk seorang pun perempuan yang mungkin mengenal semua Iclaki Yi1ng gambarnya terpampang di sural-surat kabar. Karena iJagaimanapun juga, saya hanyalah seorang pelacur yang 15 Nawal el-Saadawi sukses. Dan betapapun juga suksesnya seorang pelaelJr, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan telapi, semua lelaki yang saya kenai, tiap orang di antara mereka, lelah mengobarkan dalam diri saya hanya salu hasrat saia untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka. Akan tetapi karena saya seorang perempuan, saya tak pernah punya keberanian untuk mengangkat tangan saya. Dan karena saya seorang pelaeur, saya sembunyikan rasa lakul ilu di bawah lapis-lapis solekan muka saya. Karena saya telah menĀ­ eapai sukses, rias muka saya selalu yang paling baik dan jenis yang paling mahal, seperti rias wanita-wanita lapisan atas yang terhormat. Saya selalu merawat rambut saya di tempal penala rarnbut yang biasanya melayani para wanila dari kalangan atas rnasyarakat. Warna lipstik yang saya pilih selalu yang "alamiah dan serius" sedernikian rupa, sehingga tidak rm nyernbunyikan ataupun menitikberatkan daya tarik yang menggiurkan dari bibir saya. Garis-garis yang dibuat dengan keahlian yang eerrnat sekitar mata saya memperlihatkan suatu kombinasi yang tepat dari daya tarik dan penolakan, yang biasa disukai para isteri kaurn pria berkedudukan tinggi dari kalangan penguasa. Hanya rias muka saya, rarnbut dan sepatll saya yang rnahal itu saja yang rnasuk "kelas atas." Dengan ijazah sekolah meĀ­ nengah dan nafsu keinginan yang tertekan, saya lermasuk "kelas menengah." Lahirnya saya tergolong kelas bawah. AYAH SAYA, SEORANG petani miskin, yang tak dapat memĀ­ baea rnaupun menulis, sedikit pengetahuannya dalam kehi dupan. Bagaimana ea ranya berta nam, bagaimana menjual kerbau yang lelah diraeun oleh musuhnya sebelum 16 Perempuan di Titik Nol mati, b, gaimJlla menukar anak gadisnya dengan imbalan mas kawin bila masih ada waktu, bagaimana cManya mendahului tetangganya mencuri tanaman pangan yang rnatang di ladang. B agaimana rneraih tangan ketua kelompok dan berpura-pura rnenciumnya, bagaimana rnemukul isterinya clan memperbudaknya tiap malam. Setiap hari Jumat pagi ia akan mengenakan sebuah ga/abl'}'a* yang bersih clan rnenuju mesjid untuk mengĀ­ hadiri shalat berjemaah mingguan. Saya melihat dia berjalan-jalan dengan lelaki lainnya bilarnana ia memberi ulasan mengenai khotbah Jumat, betapa mE'yakinkan cara Sang Imam berbicara sampai melebihi hal-hal yang tidak dapat d ilampaui. Karena, bukankah benar bahwa mencuri itu perbuatan buruk, dan membunuh itu perbuatan jahat, dan merampas kehormatan wanita merupakan perbuatan jahat, juga ketidakadilan, dan memukul manusia lain itu jahat . . ? Lagi pula siapa yang dapat membantah bahwa . . kepatuhan merupakan suatu kewajiban, dan mencintai tanah air kita pun demikian. inta pada sang penguasa dan cinta kepada Allah adalah satu dan tak dapat dibagi. Allah melindungi penguasa kita bertahun-tahun lamanya dan semoga beliau tetap menjadi sumber ilharn dan kekuatan bagi negara kita, Bangsa Arab dan umat manusia seluruhnya. Saya dapat melihat mereka berjalan-jalan melalui lorongĀ­ lorang sempit yang berliku-liku sambiI mengangguk-anggukĀ­ kan kepala rnasing-masing dengan kagum, menyetujui segala hal yang telah diucapkan Sang Imam yang suci. Saya perĀ­ hatikan mereka, sementara mereka rnengangguk-anggukan • Ca/,Ibcya longgar dan panjang hingga ke tumit, dikendkan oleh pria flMupun wan;t" !,e,bed"a! potongan, bahan scrta warna. 17 Nawal el-Saadawi kepala mereka, menggosok-gosokkan tangan mereka satu sama lainnya, mengusap dahi sambiI menyebut nama Allah, memohon berkahnya, mengulangi ayat-ayatnya dengan suara parau dan lembut, menggumam dan berbisik tanpa istirahat sejenak pun. Di atas kepala, saya menjunjung sebuah kendi tembikar yang berat penuh berisi air. Karena beratnya, kadangĀ­ kadang leher saya tersentak ke belakang, ke kiri atau ke kanan. Saya harus mengerahkan tenaga saya untuk tetap menjaga keseimbangan di atas kepala saya, dan menjaga agar jangan jatuh. Saya gerakkan kaki dengan ara yang diajarkan Ibu kepada saya, sedemikian rupa sehingga leher saya tetap tegak. Saya masih muda ketika itu, dan payudara saya belum membulat. Saya belum tahu apa-apa tentang laki-Iaki. Tetapi saya dapat mendengar mereka menyerukan nama Allah dan memohon berkahnya, atau mengulangi ayat-ayatnya dalam nada parau dan lembllt. Saya mengĀ­ amati mereka mengangguk-anggukkan kepala, atau bila sedang menggosok-gosokkan tangan mereka, batuk-batuk, atau berdehern dengan bunyi yang agak serak, atau mengĀ­ garuk terus-menerus di bawah ketiak dan di antara paha mereka. Saya melihat mereka sedang mengamati apa yang terjadi di sekitar mereka dengan pandangan mata yang memancarkan sikap waspada, ragu-ragu dan dengan sembunyi-sembunyi, mata siap untuk menerkam mangsa, penuh sikap agresii yang tampak seperti sikap merendahkan diri. Kadang-kadang saya tidak dapat membedakan yang mana di antara mereka itu ayah saya. la sangat mirip dengan mereka sehingga sulit rnengetahuinya. Demikianlah, maka pada suatll hari saya bertanya kepada Ibu tentang dia. Apa sebabnya Ibu sampai melahirkan saya tanpa seorang ayah? 18 Pf!rf!mpuan di Titik Nol Mula-mula ia memukul saya. Kemudian ia membawa seorang wanita yang membawa sebilah pisau kecil atau barangkali pisau cukur. Mereka memotong secuil daging di antara kedua paha saya. Saya menangis semalam 5untuk. Keesokan paginya Ibu tidak menyuruh saya ke ladang. Biasanya ia menyuruh saya rnembawa beban pupuk di atas kepala saya ke ladang. Saya lebih suka ke ladang daripada tinggal di rumah. Di sana, saya dapat bermain-main dengan kambing menaiki kincir air, dan berenang dengan anak-anak lelaki di kali. Seorang anak lelaki kecil yang bernama Muhammadain biasanya mencubit saya dari bawah dan mengikuti saya ke sebuah teratak keci I yang terbuat dari batang-batang pohon jagung. la menyuruh saya tiduran di atas tumpukan jerami, dan mengangkat ga/abeya saya. Kami bermain-main menjadi pengantin perempuan dan pengantin laki-Iaki." Dari bagian tertentu tubuh saya, di bagian mana saya tidak tahu dengan pasti, timbul suatu perasaan nikmat luar biasa. Kemudian saya akan menutup mata dan meraba tempat itu dengan tangan saya. Pada saat menyentuhnya, saya menyadari bahwa perasaan itu telah saya rasakan sebelumnya. Kemudian kami akan mulai bermain lagi sampai matahari terbenam, dan kami dapat mendengar suara ayahnya memanggilĀ­ manggil namanya dari arah ladang yang berdekatan, dan ia akan segera lari sambil berjanji akan datang lagi keesokan harinya. Tetapi Ibu saya tidak menyuruh saya pergi ke ladang lagi. Sebelum matahari mulai muncul di langit, ia meĀ­ nyentuh bahu saya dengan kepalan tangannya sedemikian rupa sehingga saya akan terbangun, mengangkat kendi tembikar dan pergi untuk mengisinya dengan air. SeĀ­ kembalinya, saya akan menyapu kandang ternak lalu 19 Nawal el-Saadawi membuat jajaran gumpalan kotoran yang saya jemur di sinar matahari. Pada hari membakar roti, saya akan membuat adonan tepung untuk membuat roti. Membuat adonan saya lakukan sambil berjongkok di lantai dengan palung dijepit di antara kedua paha saya. Seeara teratur, saya angkat gumpalan yang kenyal itu ke atas dan memĀ­ biarkannya jatuh kembali ke dalam palung. Panasnya tungku mengenai muka saya, menggosongkan ujung-ujung rambut saya. Galabeya saya aeapkali menggelosor sehingga paha saya terbuka, tetapi tidak saya perhatikan, sampa! pada suatu saat saya melihat tangan paman saya pelan-pelan bergerak dari balik buku yang sedang ia baea menyentuh kaki saya. Saat berĀ­ ikutnya saya dapat merasakan tangan itu menjelajahi kaki saya sampai paha dengan gerakan yang gemetaran dan sangat berĀ­ hati-hati. Setiap kali terdengar suara langkah kaki orang di pintu rumah kami, tangannya akan segera ditarik kembali. Tetapi, apabila segala sesuatu di sekeliling kami menjadi sunyi kembali, hanya sekali-sekali dipeeahkan oleh bunyi rantingĀ­ ranting kayu bakar dipatahkan antara jari-jari say a untuk meĀ­ masukkan ke dalam tungku, dan bunyi napasnya yang teralur sampai di telinga saya dari balik buku sehingga saya lidak dapat mengatakan, apakah ia sedang mendengkur dengan tenangnya dalam tidur atau matanya terbuka lebar terengah-engah, dan tangannya akan terus menekan paha saya dengan meremas secara kasar. la sedang melakukan sesuatu yang telah dilakukan Mohammadain terhadap saya sebelumnya. Sebenarnya, apa yang sedang ia lakukan lebih dari itu. Sebenarnya ia meĀ­ lakukan hal yang lebih jauh dari itu, tetapi saya tidak lagi meĀ­ rasakan kenikmatan yang menyebar dari bagian tubuh saya yang tidak diketahui tapi yang sudah terbiasa itu. Saya pejamkan mata saya dan berusaha untuk mencapai rasa senang, Yang 20 Perempuan di Titik Nol pernah saya rasakan sebelumnya tetapi tidak berhasil. SeakanĀ­ akan saya tidak ingat lagi tempatnya yang tepat, atau seakan-akan sebagian dari tllbuh saya telah pergi dan tidak akan kembali. PAMAN SAYA TlDAK muda lagi. la jauh lebih tua dari saya. la sering bepergian ke Kairo seorang diri, belajar di EI Azhar, dan kul iah di saal saya masih seorang bocah kecil yang belum pandai membaca atau menulis. raman akan menyuruh saya memegang sebuah kapur tulis dilll menyuruh saya menulis di atas sebuah batutulis AM, Ga, lim, Dal . . . Kadang-kadang ia menyuruh saya mengulang lIntuk menirukannya "Alif tak punya tanda apa-apa di atasnya. Ga diberi titik di bawahnya, Jim diberi titik di tengahnya. Dal sama sekali tak punya apaĀ­ apa. " la akan menganggukkan kepalanya ketika membaca sajak dari seribu sajak karya Ibn Malik, spakan-akan ia sedang memĀ­ baea AI-Qur'an, dan saya akan mcngulang menyebutkan setiap hurllf menirukannya, dan menganggukkan kepala saya juga. Waktu musim liburan lelah usai, Paman akan menunggang keledai, dan berangkatlah ia menuju Stasiun Kereta Api Delta. Saya mengikutinya di belakang sambiI membawa keranjang yang besar, penuh dengan telur, keju dan bermacam-macam roti, ditutup oleh buku-buku dan pakaiannya. Sepanjang perĀ­ jalanan, sampai tiba di stasiun api, Paman tidak hentiĀ­ hentinya menceritakan kepada saya tentang bilik tempat tinggalnya di lIjung jalan Muhammad Ali di dekat Benteng, tentang EI Azhar, lapangan Ataba, trem; orang-orang yang tinggal di Kairo. Pada saat-saat tertentu ia akan menyanyi dengan suara yang merdu, badannya berlenggak-Ienggok mengikuti irama gerakan keledai yang ditungganginya. 21 Nawal el-Saadawi "Kubuang dikau bukan di laut lepas Tapi di tanah kering yang kau tinggalkan padaku. Kutukar dikau bukan dengan ernas gerneriapan Tapi dengan jerarni tak berharga kau jual padaku. Ah, rnalarn-rnafarnku yang panjang Ah. rnataku, Ah. " Ketika Paman naik ke atas kereta api, dan mengucapkan selamat tinggal, saya menangis dan merengek supaya dia membawa saya bersamanya ke Kairo. Tetapi Parnan bertanya, "Apakah yang akan kau perbuat di Kairo, Firdaus?" Lalu saya rnenjawab "Saya ingin ke EI Azhar dan belajar seperti Paman." Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa EI Azhar hanya untuk kaum pria saja. Lalu saya menangis, dan memegang tangannya, sementara kereta api mulai bergerak maju. Tetapi ia menarik tangannya dengan sekuat tenaga dan secara tiba-tiba sehingga saya jatuh tertelungkup. Maka saya kembali pulang dengan kepala tertunduk, merenungi bentuk jari kaki say a, sambil di jalan desa, merenungi di ri-sendiri, sementara bermacam-macam pertanyaan berkecamuk di dalam benak saya. Siapakah saya? Siapakah ayah saya? Apakah saya akan menghabiskan hidup saya dengan mengumpulkan kotoran ternak, menĀ­ junjung pupuk di atas kepala, membuat adonan tepllng, dan memanggang roti? Kembali di rllmah Ayah, saya memandang dengan hampa pada tembok-tembok dari tanah liat, bagaikan orang asing yang belum pernah masuk ke tempat ini. Saya melihat sekeliling hampir-hampir keheranan, seakan-akan saya tidak lahir di situ, tetapi tiba-tiba terjatuh dari langit, atau muncul entah dari mana dari dalam perut bumi, menemukan diri 22 Perempuan di Titik Nol say a di suatu tempat di mana saya tidak termasuk di rumah yang bukan milik saya, lahir dari seorang ayah yang bukan ayah saya, dan dari seorang ibu yang bukan ibu saya. Apakah itu karena cerita Paman tentang kota Kairo, tentang rakyat penghuni kota itu yang telah mengubah saya? Apakah saya benar-benar anak perempuan ibu saya, apakah ibu say a seorang yang lain pula? Apakah saya dilahirkan sebagai anak ibu saya dan berubah menjadi seorang yang lain? Ataukah ibu saya telah mengubah dirinya menjadi seorang perempuan lain yang sangat mirip dengannya, sehingga saya tidak dapat melihat perbedaannya? Saya berusaha untuk mengingat kembali bagaimana rupa ibu saya ketika pertama kal i saya mel ihatnya. Saya dapat mengingat dua mata. Khususnya saya dapat mengingat matanya. Saya tidak dapat melukiskan warna, atau bentuk matanya. Itu adalah mata yang saya pandang. Itu adalah mata yang sedang mengamati saya. Sekalipun saya menghilang dari pandangannya, mata itu dapat melihat saya, dan membuntuti saya ke manapun saya pergi, sehingga bila saya tertatih-tatih ketika belajar jalan, mata itu akan menahan saya. Setiap kali saya berusaha untuk jalan, saya terjatuh. Suatu kekuatan seakan-akan mendorong saya dari belakang sehingga jatuh ke depan, atau suatu beban dari depan seakan-akan bersandar pada tubuh saya sehingga saya jatuh ke belakang. Sesuatu seperti tekanan udara yang ingin meremukkan saya; sesuatu seperti daya tarik bumi yang berusaha untuk menelan saya masuk ke dalamnya. Dan di tengah-tengahnya, di situlah say a berada, berjuang menegangkan lengan dan kaki saya dalam usaha untuk berdiri tegak. Tetapi saya tetap jatuh, terpukul oleh kekuatan yang saling bertentangan, yang tetap mendorong saya ke 23 Nawal el-Saadawi jurusan yang berbeda-beda, bagaikan sebuah benda yang tenggelam di lautan tanpa batas, tanpa pantai dan tanpa dasar, dihempas air bila ia mulai tenggelam, dan diterjang angin bila mulai mengambang. Senantiasa tenggelam dan timbul, tenggelam dan timbut antara laut dan langit, tanpa sesuatu untuk pegangan keeuali kedua mata itu. Dua mata itu yang saya pegang erat-erat dengan sekuat tenaga saya. Dua mata itu saja yang seakan-akan dapat menahan saya. Sampai detik ini saya tak tahu apakah kedua mata itu terĀ­ buka lebar atau sipit, juga tak dapat saya ingat apakah mata itu dikelilingi bulu mata atau tidak. Yang saya ingat hanyalah dua buah einein yang teramat putih di sekitar dua Iingkaran yang hitam pekat. Saya hanya eukup melihat ke dalamnya, maka yang putih menjadi lebih putih dan yang hitam semakin hitam, seolah-olah eahaya matahari menernbus ke dalamnya dari arah sesuatu sumber kekuatan gaib bukan yang ada di dunia, bukan pula yang di langit, karena tanah berwarna hitam kelam, dan langit menjadi gelap bagaikan malam, tanpa matahari dan tanpa bulan. Saya tahu dia ibu saya, tetapi entah bagaimana. Demikianlah, maka saya merangkak perlahan-Iahan ke arahnya untuk meneari kehangatan dari tubuhnya. Gubuk kami dingin hawanya, tetapi di musim dingin justru Ayah menggeser tikar jerami saya beserta bantalnya ke bilik keeil yang menghadap ke utara, dan menempati sudut tempat saya di dalam ruangan tungku. Dan bukannya tetap tinggal di sisi saya untuk membuat saya hangat, Ibu biasanya membiarkan saya sendirian dan pergi ke Ayah untuk membuat dia hangat. Di musim panas saya dapat melihat Ibu duduk dekat kaki Ayah dengan sebuah mangkuk timah di tangannya ketika ia membasuh kakinya dengan air dingin. 24 Perempuan di Titik Nol Ketika saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu di tangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan air. Sekarang saya telah mengĀ­ gantikan Ibu dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukannya. Ibu tidak ada lagi, malahan ada seorang perempuan lain yang memukul tangan saya dan mengambil-alih mangkuk itu. Ayah berkata, bahwa dia adalah ibu saya. Sebenarnya, dia tampak mirip sekali dengan Ibu; gaun panjangnya, muka yang sama, dan gerakan yang sama pula. Tetapi, bila saya melihat ke dalam matanya saya dapat merasakan bahwa dia bukanlah Ibu saya. Itu bukan mata yang menahan saya setiap saat akan jatuh. Itu bukan dua cincin yang berwarna putih bersih mengelilingi dua lingkaran yang hitam pekat, yang warna putihnya semakin putih, dan yang hitam semakin hitam, setiap saat saya menatapnya seakan-akan cahaya matahari atau bulan tetap menyinarinya. Tak sedikit pun cahaya pernah menyentuh mata perempuan ini, sekalipun bila hari cerah berseri-seri dan matahari bersinar sangat terang. Pada suatu hari saya memegang kepalanya di antara kedua tangan saya dan membalikkannya sedemikian rupa sehingga sinar matahari langsung menyinari mukanya, tetapi matanya tetap pudar, tak mempan akan cahayanya, bagaikan dua lampu yang telah padam. Saya tidak tidur sepanjang malam menangis sendirian, berusaha meredam suara isak saya sedemikian rupa supaya jangan mengganggu adik-adik laki-Iaki dan perempuan yang sedang tidur di lantai di sebelah saya. Karena, seperti kebanyakan orang, saya punya banyak saudara laki-Iaki dan perempuan. Mereka itu seperti ayam yang berkembang-biak di musim dingin, menggigil di musim dingin dan kehilangan bulu mereka, dan kemudian di 25 Nawal el-Saadawi musim panas terkena penyakit mencret, makin merana dengan cepatnya dan satu demi satu merangkak ke sebuah sudut bilik dan mati. JIKA SALAH SATU anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-Iaki, ia akan memukul Ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur. Ayah tak akan pergi tidur tanpa makan malam lebih dulu, apa pun yang terjadi. Kadang-kadang apabila tak ada makanan di rurnah, kami semua akan pergi tidur dengan perut kosong. Tetapi dia selalu memperoleh makanan. Ibu akan menyembunyikan makanannya dari kami di dasar sebuah lubang tungku. la makan sendirian sedangkan kami mengamatinya saja. Pada suatu malam saya memberanikan diri untuk mengulurkan tangan ke arah piringnya, tetapi ia memberi sebuah pukulan yang keras pada punggung dan jari-jari saya. Saya sangat lapar sehingga tak kuasa untuk menangis. Saya duduk di hadapannya menungguinya sedang makan, mata saya mengikuti gerakan tangannya mulai dari saat jemarinya merogoh masuk ke dalam mangkuk sampai jari-jarinya itu diangkat ke atas, dan membawa makanan itu ke dalam mulutĀ­ nya. Mulutnya seperti mulut seekor unta, dengan lubang yang lebar dan tulang rahang yang lebar pula. Rahang atasnya menekan rahang bawah dengan suara gilasan nyaring dan mengunyah setiap butir demikian rapinya sehingga kami dapat mendengarkan gesekan-gesekan giginya satu sama lain. 26 Perempuan di Titik Nol Suatu perasaan tertekan menguasai tubuh saya. Saya tak senang melihat bentuk hidung maupun bentuk mulut saya. Saya pikir Ayah telah tiada, tetapi di sini dia hidup dalam wujud hidung yang besar, jelek dan bulat. Juga Ibu telah meninggal, tetapi terus hidup di dalam wujud mulut berbibir tipis ini. Dan inilah saya, tak berubah, Firdaus, yang itu-itu juga, tetapi sekarang mengenakan gaun dan memakai sepatu. Hati saya dipenuhi rasa benci yang mendalam pada cermin itu. Sejak saat itulah saya tak pernah bercermin lagi. Juga ketika saya berdiri di depannya, saya bukannya melihat diri-sendiri, tetapi hanya untuk menyisir rambut, atau menyeka muka saya, atau merapikan leher pada baju saya. Kemudian saya pungut tas saya dan lari mE'nuju sekolah. SAYA SENANG BERSEKOlAH. Sekolah itu penuh dengan anak-anak lelaki dan perempuan. Kami bermain-main di halaman, terengah-engah sesak napas karena berlari-Iari dari ujung yang satu ke ujung yang lain, atau duduk sambil membelah biji bunga matahari di antara gigi, kami dengan cepat atau mengunyah permen karet dengan suara kunyahan yang nyaring atau kami membeli gula-gula batang carob kering atau kami minum juice adas, manis air asam tamarinda dan air perasan tebu; dengan kata lain, kami mencari apa saja yang berbau enak dan sedap. Begitu kembali pulang, saya akan menyapu bersih rumah, mencuci pakaian saya, membereskan tempat tidur dan menyusun buku-buku Paman. la membelikan seterikaan yang berat yang dapat saya panasi di atas tungku minyak tanah, 29 Nawal el-Saadawi dan menyeterika baju kaftan serta sorbannya. Sesaat sebelum matahari terbenam ia akan kembali dari EL Azhar. Saya menyiapkan makan malam dan kami makan bersama. Selesai makan, saya merebahkan diri di atas bangku saya, sedangkan Paman duduk di tempat tidurnya dan membaca keras-keras. B iasanya saya loncat ke atas tempat tidurnya yang tinggi itu, melingkarkan jari-jari saya pada tangannya yang besar dengan jari-jari yang panjang dan menyentuh buku-buku yang licin penuh bertulisan huruf yang rapat, hitam dan indah. Saya mencoba baca beberapa kata. Kata-kata itu bagi say a seperti lambang-Iambang penuh rahasia yang membuat diri saya diliputi perasaan agak ketakutan. EI Azhar adalah suatu dunia yang mengagumkan dan hanya dihuni oleh orang laki-Iaki saja, dan Paman merupakan salah seorang dari mereka, dan dia adalah seorang laki-Iaki. Apabila ia membaca, suaranya bergema dengan nada yang anggun dan kudus, dan jemarinya yang panjang dan besar seperti dicekam oleh suatu getaran aneh yang dapat saya rasakan di bawah tangan gaya. Gerakan yang tak asing lagi bagi saya, seperti getaran yang telah saya alami di masa kanakĀ­ kanak, sebuah impian dari kejauhan yang masih saya ingat. Selama malam-malam dingin di musim dingin, saya meĀ­ lekukkan diri saya di pelukan Paman seperti seorang bayi dalam rahim ibunya. Kami saling rnenghangatkan badan dari kedekatan itu. Muka saya terbenam dalam pelukannya, saya ingin berkata, bahwa saya mencintainya, tetapi kataĀ­ kata itu tak mau keluar dari mulut saya. Saya ingin menangis, tetapi air mata saya tak mau mengalir. Dan tak lama kemudian saya akan tertidur dengan amat nyenyaknya sampai keesokan paginya. 30 Perempuan di Titik Nol Suatu hari saya jatuh sakit demam. Paman duduk di tempat tidur di sebelah saya sambil memangku kepala saya, mengusap-usap muka saya secara halus dengan jari-jarinya yang besar panjang, dan saya tidur sepanjang malam dengan berpegangan erat pada tangannya. KETIKA SAY A MENERIMA surat keterangan tanda tamat belajar dari sekolah dasar, ia membelikan saya sebuah jam tangan kecil, dan malam itu ia mengajak saya pergi menonton bioskop. Saya melihat seorang perempuan sedang menari. Pahanya dalam keadaan terbuka, dan saya melihat seorang laki-Iaki berpelukan dengan seorang perempuan. Kemudian ia mencium perempuan itu pada bibirnya. Saya sembunyikan muka saya di balik tangan dan tidak berani memandang kepada Paman. Kemudian, ia berkata kepada saya bahwa berdansa itu adalah dosa, dan mencium seorang laki-Iaki pun, merupakan suatu dosa, tetapi sekarang saya tak berani lagi menatap matanya. Malam itu, ketika kembali ke rumah saya tidak duduk di sisinya di tempat tidur seperti yang saya lakukan sebelumĀ­ nya, tetapi menyembunyikan diri di balik selimut di bangku kecil saya. Gemetar sekujur tubuh saya, dicekam oleh sebuah perasaan yang tak dapat saya jelaskan, bahwa jemari Paman yang besar dan panjang-panjang itu bergerak ke arah saya tak lama kemudian, dan secara hati-hati mengangkat selimut di atas tubuh saya. Kemudian bibirnya menyentuh muka dan menekan mulut saya, dan jari-jarinya yang gemetar akan menelusur perlahan-Iahan ke atas sepanjang paha saya. 31 Nawal el-Saadawi Sesuatu yang aneh terjadi pada diri saya, aneh karena hal itu belum pernah terjadi pada saya, atau hal itu selalu terjadi sejak saya dapat mengingatnya. Entah di mana, di sllatu tempat tertentu di dalam tubuh saya terbangun sesuatu rasa nikmat yang telah hilang sejak waktu yang lama, atau suatu kenikmatan baru, yang masih belum diketahui, dan tidak dapat dipastikan, karena hal itu seakan-akan timbul di luar tubuh saya, atau dalam suatu bagian diri saya yang dipotong sekian tahun yang telah lalu. PAMAN MULAI SERING bepergian. Ketika saya terbangun di waktu pagi, ia sudah berangkat, dan ketika ia pulang kembali di waktu malam, saya telah di tempat tidur, tidur dengan lelapĀ­ nya. Jika ia saya bawakan segelas air, atau sepiring makanan, ia akan mengulurkan tangannya, dan mengambilnya tanpa melihat kepada saya. Jika saya menyembunyikan kepala saya di bawah selimut tebal, saya akan mendengar dengan sungguhĀ­ sungguh suara langkah kakinya. Saya menahan napas dan pura-pura tidur, sambiI menantikan jari-jarinya yang akan meĀ­ nyentuh saya. Lama sekali rasanya tanpa terjadi apa-apa. Saya dapat mendengar tempat tidurnya berbunyi berderik bila ia merebahkan diri, disusul beberapa saat kemudian oleh suara dengkur yang teratur. Setelah itu baru saya yakin bahwa ia telah tidur pulas. la telah menjadi seorang laki-Iaki yang berbeda. la tidak lagi membaca sebelum pergi tidur, atau mengenakan jebbah dan kaftannya. Sebaliknya, ia telah membeli setelan jas dan dasi, dan memperoleh jabatan pada suatu kementerian wakaf, dan menikah dengan puteri gurunya di EI Azhar. 32 Perempuan di Titik Nol la memasukkan saya ke sekolah menengah, dan membawa saya ke rumahnya yang baru, di sana saya tinggal bersamanya dan isterinya. Isterinya bertubuh pendek, seorang perempuan yang gemuk dengan kulit yang agak putih. Tubuhnya yang gemuk bergoyang dari kiri ke kanan bila ia sedang berjalan, dengan gerakan seekor itik yang kekenyangan. Suaranya halus bukan karena lemah-Iembut, tetapi kehalusan watak yang kejam. Matanya lebar serta berwarna hitam, mencerrninkan gairah hidup yang telah padam dan hanya tinggal ketidakĀ­ Nawal e/-Saadawi "Tinggallah di sini barang sehari lagi, Nek," tetapi Paman tidak pernah berkata sepatah kata pun, demikian pula isterinya. Saya berangkat ke sekolah setiap hari. Begitu kembali ke rumah, saya menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring dan pakaian. Isteri paman hanya memasak, dan meninggalkan periuk dan panci untuk saya cuci dan bersihkan. Kemudian, Paman membawa ke rumah seorang gadis kecil pernbantu yang tidur di kamar saya. Tempat tidur hanya disediakan bagi saya, maka ia tidur di lantai. Pada suatu malam yang dingin saya katakan kepadanya untuk tidur bersama saya di atas tempat tidur, tetapi ketika isteri paman saya memasuki kamar dan melihat kami berdua, dia memukulnya. Kemudian ia pun memukul saya. PADA SUATU HARI, ketika saya pulang dari sekolah, saya dapati Paman kelihatan sangat marah kepada saya. Isterinya pun kel ihatan sama marahnya, dan dia terus saja rnemperĀ­ lihatkan muka yang marah, sampai Paman memutuskan untuk membawa saya keluar dari rumah dengan baju dan buku-buku saya, dan memasukkan say a ke dalam asrama putri yang menjadi bagian dari sekolah saya itu. Sejak saat itulah saya tidur di tempat itu setiap malam. Di akhir pekan, para bapak-ibu, dan kaum kerabat lainnya dari para anak gadis yang bersekolah di situ datang berkunjung, atau menjemput mereka untuk menghabiskan waktu hari Kamis dan jumat di rumahnya masing-masing. Saya melihat mereka dari atas tembok yang tinggi dan mengamati mereka bila berangkat, mata saya mengikuti orang-orang itu dan kejadian di jalan, seperti seorang narapidana yang telah 34 Perempuan di Titik Nol dihukum untuk melihat kehidupan dari atas sebuah tembok penjara. Tetapi bagaimanapun juga, saya cinta pada sekolah. Ada .buku-buku baru, dan ada pelajaran yang baru, dan anakĀ­ anak perempuan yang seusia dengan saya, teman saya belajar. Kami berbincang-bincang satu sam a lainnya mengenai kehidupan kami, bertukar rahasia, dan mengemukakan perasaan masing-masing yang ada di lubuk hati kami. Tak seorang pun yang mengganggu kami kecuali pengawas yang berkeliling asrama dengan kaki berjingkat, memata-matai kami siang dan malam, sambil mendengar apa saja yang kami katakan. Sekalipun kami sedang tidur, dia tetap memasang matanya terhadap setiap gerakan kami, mengikuti kami sampai ke alam mimpi. Apabila salah seorang di antara kami mendesah, atau mengeluarkan napas panjang, atau mengeluarkan suara, atau membuat gerakan sedikit saja dalam mimpi, dia akan mendampratnya seperti seekor burung mematuk mangsanya. Saya mempunyai seorang kawan, namanya Wafeya. T e mpat tidurnya ada di sebelah saya. Saya akan menggeser tempat tidur saya lebih dekat setelah lampuĀ­ lampu dimatikan, dan kami akan mengobrol sampai jauh malam. Dia berbicara mengenai seorang saudara sepupu yang ia cintai, dan sebaliknya juga mencintainya, dan saya berbicara tentang harapan-harapan saya mengenai masa depan. Tak ada sesuatu dalam masa lampau atau dari masa kanak-kanak saya yang dapat dibicarakan, dan tak ada cinta ataupun sesuatu yang mirip dengan itu sekarang ini. Karena itulah jika ada sesuatu yang ingin saya katakan, maka itu hanyalah rnasa depan. Masa yang akan datang masih dapat saya lukiskan dengan warnaĀ­ 35 Nawal el-Saadawi warna yang saya sukai. Tetapi menjadi milik saya untuk secara bebas memutuskan, dan mengubah seperti yang saya inginkan. Kadang-kadang saya bayangkan, bahwa saya akan menjadi seorang dokter, atall insinyur, seorang ahli hukum, atau hakim. Dan pada suatu hari, seluruh sekolah turun ke jalan-jalan raya untuk menggabungkan diri dalam suatu demonstrasi besar yang menentang pemerintah. Tiba-tiba saya dapati diri saya telah berada tinggi di atas bahu anakĀ­ anak perempuan sambi I berteriak-teriak HTurunkan pemerintahlH Ketika saya kembali ke sekolah suara saya serak, rambut kusut, dan pakaian saya telah koyak di beberapa tempat, tetapi sepanjang malam itu saya tetap memĀ­ bayangkan diri sebagai seorang pemimpin atau kepala negara. Saya tahu bahwa perempuan tidak bisa menjadi kepala negr..r a, tetapi say a merasa bahwa saya tidak seperti perempuan lainnya, juga anak-anak perempuan lain di sekitar saya yang tetap saja bicara tentang cinta, atau tentang laki-Iaki. Karena itu adalah 50al yang tidak pernah saya sebutkan. Entah bagaimana, saya tidak tertarik kepada hal-hal yang menyibukkan pikiran mereka, dan apa yang dianggap penting oleh mereka bagi saya hanya merupakan hal yang sepele. Pada suatu malam, Wafeya bertanya kepada saya HApakah kau pernah jatuh cinta, Firdaus?H HTidak pernah, Wafeya. Saya belum pernah jatuh cinta, H jawab saya. Dia memandang lama kepada saya dengan penuh keheranan dan berkata,"'Sungglih aneh. H Apa sebabnya kau anggap aneh?H tanya saya. H 36 Perempuan di Titik Nol "Ada sesuatu di wajahmu yang memberi kesan, bahwa kau sedang jatuh cinta." "Tetapi tanda apa pada wajah seseorang yang dapat menimbulkan dugaan bahwa orang itu jatuh cinta?" Dia menggelengkan kepala dan berkata, "Aku tak tahu. Tetapi aku merasa, bahwa kau khususnya, adalah orang yang tidak dapat hidup tanpa jatuh cinta." "Justru aku hidup tanpa cinta." "Jadi kau hidup dalam dusta, atau sam a sekali tidak hidup." Dia mengucapkan kata yang terakhir itu dan langsung tertidur dengan pulasnya. Mata saya tetap terbuka lebar, memandang kosong ke arah kegelapan. Perlahan-Iahan, bayangan-bayangan yang telah setengah terlupakan mulai bermunculan di tengah malam. Saya melihat Mohammadain berbaring di atas sebuah tempat tidur tumpukan jerami di bawah teratak yang terbuka. Bau jerami menggelitik hidung saya, dan sentuhan jarinya bergerak menelusuri tubuh saya. Seluruh tubuh saya gemetar karena rasa nikmat yang tak asing lagi jauh di masa lalu, yang timbul dari sumber yang tidak diketahui, dari titik di luar diri saya yang sulit ditentuĀ­ kan. Tetapi tetap dapat saya rasakan entah di mana dalam tubuh say a, denyutan yang lembut bangkit seperti suatu rasa nikmat yang lembut, dan berakhir seperti rasa perih. Sesuatu yang ingin saya tahan, untuk menyentuhnya sejenak saja, tetapi gejala itu menghilang dari diri saya seperti udara, seperti sebuah khayalan, atau seperti mimpi yang melayang menjauh dan hilang lenyap. Saya menangis dalam tidur seakanĀ­ akan sekarang ini saya kehilangan sesuatu; kehilangan yang baru saya alami untuk pertama kalinya, dan bukan rasa kehilangan sesuatu di masa yang lampau. 37 Nawal el-Saadawi Malam hari di sekolah terasa lama, dan siang hari pun terasa lebih lama lagi. saya dapat menyelesaikan pelajaran beberapa jam sebelum lonceng malam dibunyikan. Dengan demikian, saya telah menemukan, bahwa sekolah memiliki sebuah perpustakaan. sebuah ruangan yang disia-siakan di halaman belakang, dengan rak-rak buku yang rusak berantakĀ­ an, dan buku-buku tertutup lapisan debu yang leba!. BiasaĀ­ nya saya menyeka debunya dengan lap kuning, duduk di sebuah kursi yang sudah patah di bawah sinar lampu yang suram cahayanya, dan membaca. Say a mulai mencintai buku, karena setiap buku memĀ­ berikan pelajaran baru bagi saya. saya dapat mengetahui tentang orang Parsi, orang Turki dan orang Arab. saya membaca tentang kejahatan-kejahatan yang dilakukan para raja dan penguasa, tentang perang, tentang rakyat, revolusi, dan tentang riwayat orang-orang revolusioner. saya membaca kisah-kisah percintaan dan sajak sajak cinta. Tetapi saya lebih menyukai buku-buku tentang penguasa. saya membaca kisahĀ­ kisah tentang para penguasa yang memiliki pelayan wanita dan sel ir sebanyak tentaranya, dan saya membaca tentang seorang penguasa lainnya yang perhatiannya dalam hidup itu hanya tertumpah pada anggur, perempuan dan mencambuki budak-budak beliannya, penguasa yang ketiga tidak banyak perhatian terhadap wan ita, tetapi senang berperang, membunuh, dan menyiksa orang. seorang penguasa yang lain lagi suka makanan, uang dan menimbun kekayaan tanpa batas. Ada lagi yang begitu mencintai dirinya dan mengagumi keagungannya sehingga baginya tak ada orang lain. Ada pula seorang penguasa yang selalu ketakutan akan berbagai komplotan dan persekongkolan sehingga ia menghabiskan waktunya dengan mengacaukan fakta-fakta sejarah dan mencoba memperdaya rakyatnya. 38 Perempuan di Titik Nol Saya dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-Iaki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul uang, seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis, dan menembakkan panah beracun. Karena itu, kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu. Surat kabar dan majalah dikirimkan secara teratur pada perpustakaan ini. Saya menjadi terbiasa untuk membaca apa yang ditulis di dalamnya dan melihat gambar-gambarnya. Dan dengan demikian, agak sering pula saya akan menemukan gambar salah seorang penguasa macam itu ketika ia sedang duduk bersama jemaah lain menghadiri shalat jumat. Di sanalah dia duduk sambil meram-melek, memandang ke muka dengan penuh kerendahan hati, seperti orang yang terpukul sedalam-dalamnya. Saya dapat melihat dia sedang mencoba untuk menipu Allah dengan cara yang sama bila ia sedang menipu rakyatnya. Di sekelilingnya berkumpul para pengikutĀ­ nya, mengangguk-anggukkan kepala mereka tanda setuju dan dengan rasa kagum terhadap apa saja yang dikatakan, memohon rahmat Allah Yang Maha Mulia dengan ucapanĀ­ ucapan bernada serak, menggosok-gosokkan tangan yang satu dengan yang lain, mengamati apa yang tengah terjadi di sekelilingnya dengan pandangan mata waspada, ragu-ragu dan dengan sembunyi-sembunyi siap siaga untuk menerkam, penuh sikap agresif yang aneh. Saya dapat melihat mereka bila mereka sedang berdoa dengan penuh khidmat bagi para arwah pahlawan-pahlawan 39 Nawal el-Saadawi bangsa yang telah mati di medan perang, atau mati karena kelaparan atau karena wabah penyakit sampar. Saya mengikuti gerakan kepala mereka yang sedang bersujud dan pantat mereka yang terangkat, pantat bulat berlemak yang memĀ­ bengkak karena daging dan rasa takut. Ketika mereka mengĀ­ ucapkan kata "patriotisme" dengan segera saya tahu, bahwa dalam hati mereka tidak takut kepada Allah, dan bahwa dalam benak mereka, Patriotisme mereka itu adalah yang miskin harus mati untuk membela tanah yang kaya, tanah mereka, karena saya tahu bahwa orang yang miskin tidak memiliki tanah. Apabila saya bosan membaca sejarah, yang kelihatannya tidak berubah, bosan karena kisah-kisah yang sama saja, dengan gambar-gambar yang kelihatan sama pula, saya akan pergi ke bawah duduk sendiri di hal am an tempat bermain. Seringkali, malam menjadi gelap, tanpa ada bulan yang memancarkan cahayanya dari atas, bunyi lonceng yang terakhir akan terdengar nyaring sekali, dan meningggalkan suara hening dan sunyi-senyap sesudahnya. Oi sekeliling saya, semua jendela sudah tertutup, dan semua lampu sudah padam, narnun saya akan terus duduk sendirian di ternpat kegelapan, dan merenungkan banyak hal. Apa jadinya saya di tahun-tahun mendatang? Apakah saya akan m e lanjutkan studi ke univers itas? Akan setujukah Paman mengir imkan saya melanjutkan studi? Pada suatu malam seorang guru telah melihat saya ketika saya sedang duduk di tempat itu. Sesaat ia kelihatannya takut ketika melihat seonggok benda yang tak bergerak, tapi kelihatan seperti wujud manusia sedang duduk di kegelapan. Sebelum lebih mendekat kepada saya ia berteriak "Siapa yang duduk di situ?" Oengan suara penuh rasa takut dan lemah saya menjawab, "Ini saya, Firdaus." 40 Perempuan di Titik Nol Ketika ia sudah lebih dekat lagi, ia mengenali saya dan tampaknya agak terkejut, karena saya adalah salah seorang murid yang terbaik di kelasnya, dan gadis-gadis yang terbaik biasanya pergi tidur segera setelah lonceng malam dibunyikan. Saya katakan kepadanya, bahwa saya merasa agak tegang dan belum bisa tidur, sehingga ia duduk di sebelah saya. Namanya Nona Iqbal. Tubuhnya pendek dan montok dengan rambut hitam yang panjang dan matanya pun berwarna hitam. Saya dapat melihat matanya memandang kepada saya, mengamati saya, sekalipun dalam kegelapan. Setiap kali saya menoleh kepadanya ia terus memandang saya, tak mau melepaskan. Juga, ketika, saya menutup muka dengan kedua tangan, kelihatannya kedua matanya menembus memandang saya melalui tangan-tangan, langsung ke mata saya. Mendadak saya menangis. Air mata mengucur ke bawah melalui pipi di balik tangan saya. Dia memegangi kedua tangan saya dan menariknya dari muka saya. Saya dengar dia berkata "Firdaus, Firdaus, janganlah menangis." "Biarlah saya menangis/ kata saya. "Saya belum pernah melihat kau menangis. Apa yang terjadi padamu?" "Tidak apa-apa, sama sekali tidak ada apa-apal" "Mana mungkin. Pasti telah terjadi sesuatu pad a dirimu" "Tidak, tak ada apa-apa yang terjadi, Nona Iqbal." Ada nada heran dalam suaranya. "Kau menangis tanpa ada alasan apa-apa?" 'Saya tak tahu alasannya. Tak ada hal baru terjadi pada diri saya Dia tetap duduk di sebelah saya, duduk dalam kebisuan. Saya dapat melihat matanya yang hitam menerawang dalam gelapnya malam, dan air matanya keluar di dalamnya dengan kilauan cahaya. Dia merapatkan kedua bibirnya dan menelan 41 Nawal el-Saadawi keras serta sekonyong-konyong sinar matanya menjadi redup. Berulangkali kedua matanya be rkaca-kaca dan sejenak kemudian redup kembali, bagaikan lidah api yang menjadi padam di tengah kegelapan malam. Tetapi saatnya tiba ketika dia merapatkan bibirnya dan menelan dengan kerasnya, tetapi percuma saja, karena dua tetes air mata tetap ada di balik matanya. Saya melihat kedua tetes air mata itu jatuh menimpa hidungnya dan meluncur ke bawah di kedua sisinya. Dia menyembunyikan mukanya dengan tangan yang satu, menarik secarik sapu tangan dengan tangan yang lainnya dan menyeka hidungnya. "Anda sedang menangis, Nona Iqbal?" tanya saya. "Tidak," katanya, kem ud ian d ia sembu nyi k a n sapu tangannya, menelan keras-keras dan tersenyum ke arah saya. Malam di sekitar kami kelam, bisu, tiada gerak atau suara apa pun. Segalanya tenggelam dalam kegelapan yang kelam, tiada satu sinar pun dapat menembusnya, karena di langit tak ada bulan maupun matahari. Muka saya menghadap ke mukanya, dan mata saya memandang matanya dalam-dalam lingkaran yang teramat putih, mengelilingi dua lingkaran berwarna hitam pekat, memandang ke arah saya. Sementara saya terus memandangnya, yang putih kelihatannya berubah semakin putih, dan yang hitam menjadi semakin hitam, seperti ada cahaya melayang, menembusnya dari suatu sumber gaib yang tak diketahui asalnya, baik di dunia, maupun di surga, karena dunia diselubungi jubahnya malam, dan karena surga tak punya matahari dan bulan untuk memberinya cahaya. Saya terpesona akan sinar matanya, saya raih tangannya. Perasaan dari sentuhan tangan kami terasa aneh, sekonyongĀ­ konyong. Sebuah perasaan yang membuat tubuh saya gemetar dengan rasa nikmat mendalam dan lebih dari usia kehidupan yang saya ingat, lebih dalam dari kesadaran yang say a bawa 42 Perempuan di Titile Nol selama ini. Saya dapat merasakan entah di mana, seperti sebagian dari kehadiran saya yang lahir di saat saya dilahirĀ­ kan, tetapi tidak tumbuh bersama saya ketika saya tumbuh, seperti sebagian dari kehadiran saya yang pernah saya ketahui, tetapi yang telah ditinggalkan ketika saya lahir. Suatu kesadaran yang samar dari sesuatu yang mungkin ada, tetapi yang belurn, pernah hidup. Di saat itu sebuah kenangan muncul di benak saya. Bibir saya membuka untuk bicara, tetapi suara saya tak keiuar, seolah-olah begitu ingat langsung terlupakan. Hati saya bimbang lemas oleh denyut-denyut yang cepat, meĀ­ nakutkan, karena sesuatu yang berharga akan hilang atau baru saja hilang untuk selama-Iamanya. Jemari saya tetap memegang tangannya dengan amat kerasnya sehingga tak ada sesuatu pun kekuatan di dunia ini, bagaimanapun kuatĀ­ nya, yang dapat menghalaunya dari saya. SESUDAH MAlAM ITU, bila kami bertemu, bibir saya memĀ­ buka untuk mengatakan sesuatu yang teringat tetapi sesegera itu pula terlupakan lagi. Hati saya berdebar dengan rasa takut, atau dengan suatu perasaan mirip ketakutan. Saya ingin menggapai dan meraih tangannya, tetapi dia akan masuk ke dalam kelas atau meninggalkannya sesudah pelajaran usai tanpa terlihat ia memperhatikan kehadiran saya. Apabila kebetulan ia melihat saya, itu terjadi dengan cara yang sarna seperti ia melihat pada siapa saja di antara murid-muridnya. Di tempat tidur, sebelum tidur, saya bertanya-tanya dalam hati M Apakah Nona Iqbal telah lupa?H Sejenak 43 Nawal e/-Saadawi kemudian Wafeya akan menggeser tempat tidurnya ke dekat tempat tidur saya dan bertanya "Lupa apa?" "Aku tak tahu Wafeya." "Kau hidup di dunia penuh khayalan, Firdaus." "Sama sekali tidak, Wafeya. Itu memang terjadi, kau tahu." "Apa yang terjadi?" selidiknya. Saya berusaha untuk menjelaskan tentang apa yang telah terjadi, tetapi saya tidak tahu bagaimana cara melukiskannya, atau untuk lebih tepatnya, saya tak dapat mengatakan apa-apa. Seakan-akan sesuatu telah terjadi, yang saya tak sanggup mengingatnya kembali, atau seolah-olah tak terjadi apa-apa sama sekali. Saya pejamkan mata dan berusaha untuk mengembalikan adegan peristiwa itu. Perlahan-Iahan muncullah dua lingkaran yang teramat hitam yang dilingkari dua cincin yang berwarna putih. Semakin saya memandang ke arahnya, semakin besar mereka tumbuh, membengkak di hadapan mata saya. Lingkaran yang hitam tetap tumbuh sampai mencapai ukuran sebesar bumi, dan yang putih membengkak sampai menjadi gumpalan yang sangat putih, besarnya sebesar matahari. Mata saya sendiri menghilang ke dalam warna hitam dan putih sampai menjadi buta oleh suatu kekuatan yang dahsyat, kedua mata saya tak kuasa lagi menangkap yang satu maupun yang lainnya. Bayangan-bayangan di hadapan mata saya menjadi kacau. Saya tak dapat membedakan lagi muka Ayah dan muka Ibu, Paman dan Mohammadain, Iqbal, Wafeya. Saya membuka mata lebar-Iebar seperti dalam keadaan panik akan terkena kebutaan. Saya dapat melihat bentuk muka Wafeya di hadapan saya di dalam kegelapan. Dia masih bangun, dan saya dengar dia berkata "Firdaus, apakah kau jatuh cinta kepada Nona Iqbal?" 44 Perempuan di Titik Nol "Aku?" kata saya dengan rasa heran. "Ya, kau. Siapa lagi?" "Tak pernah, Wafeya." "Lalu, apa sebabnya kau bicara tentang dia setiap malam?" "Aku? Bicara tentang dia? Itu tak benar. Kau selalu melebihlebihkan Wafeya." "Nona Iqbal adalah seorang guru yang baik sekali," ulasnya. "Ya," saya setuju, "tetapi dia itu perempuan. Bagaimana bisa jadi saya cinta kepada seorang perempuan?" Hanya beberapa hari lagi sebelum ujian akhir. Wafeya tidak lagi berbicara dengan saya mengenai jantung hatinya, dan lonceng malam tidak lagi berbunyi seperti yang terjadi sebelumnya. Setiap malam saya akan duduk sampai larut malam di ruangan belajar dengan Wafeya dan gadis-gadis lainnya. Sebentar-sebentar pengawas asrama masuk ke dalam untuk mengawasi kami belajar, sarna seperti dia melakukan pengawasan bila kami tidur atau tengah bermimpi. Karena, bila seorang di antara gadis-gadis itu mengangkat kepalanya untuk mengambil napas, atau mengistirahatkan tengkuknya, dia akan muncul entah dari mana, dan gadis-gadis itu cepat-cepat akan menundukkan kepalanya di atas buku-buku kembali. Saya senang duduk di kelas, dan saya menikmati kegiatan belajar, sekalipun kewaspadaan sang pengawas yang tak pernah lalai, dan hal lainnya. Ketika hasil ujian diumumkan, kepada saya diberitahukan, bahwa saya berhasil memperoleh peringkat nomor dua di sekolah dan nomor tujuh di seluruh negeri. Malam hari, ketika surat-surat keterangan tanda tamat belajar dibagi-bagikan, suatu upacara diselenggarakan bagi peristiwa tersebut. Kepala sekolah memanggil nama saya di dalam bangsal yang penuh sesak oleh ratusan ibu, ayah, dan kerabat-kerabat lainnya da'ri para gadis, tetapi tak ada yang berdiri atau berjalan ke depan untuk menerima surat ijazah 45 Nawal e/-Saadawi saya. Kesunyian yang mend adak mencekam bangsal. Kepala sekolah menyerukan nama saya untuk kedua kalinya. Saya berusaha untuk berdiri tetapi kaki saya tak mau bergerak. Saya berseru sambil duduk "Hadir." Saya melihat semua berputar ke arah saya, mata yang tak terhitung banyaknya telah berubah dalam pandangan saya menjadi cincin-cincin yang tak terbilang jumlahnya, cincin berwarna putih yang mengelilingi lingkaran-lingkaran yang tak terhitung banyaknya, yang berwarna hitam, yang berubah menjadi suatu gerakan lingkaran yang terpadu untuk memusatkan pandangannya secara tetap ke dalam mata saya. Kepala sekolah berseru dengan suara memerintah "jangan menjawab sambil duduk. Berdirilah!" Saya menyadari bahwa saya sudah berdiri tegak pada waktu lingkaran-lingkaran putih dan hitam itu bergerak ke atas dalam suatu gerak serentak untuk sekali lagi melihat ke mata saya. Kepala sekolah berseru kembali dengan suara yang begitu kerasnya yang bergema di dalam telinga saya lebih keras dari suara apa pun yang pernah saya dengar sebelumnya selama hidup saya. "Di mana walimu?" Kebisuan yang mencekam meliputi bangsal itu, suatu kesunyian yang memiliki pemantulan suaranya sendiri. Udara bergetar dengan suara yang ganjil, dan suara orang bernapas yang keluar dari banyak dada memiliki nada berirama yang sampai kepada saya di belakang bangsal yang penuh sesak itu. Kepala-kepala mereka kembali berputar pad a kedudukan semula, dan saya berdiri menatap baris demi baris punggung mereka yang duduk tegak di jajaran bangkunya masing-masing. 46 Perempuan di Titik Nol Dua mata - hanya dua mata yang menatap terus mata saya. Betapa jauhnya saya memalingkan pandangan saya, atau betapapun saya menggerakkan kepala saya, kedua mata itu mengikuti saya dan mempererat pegangannya. Segalanya sekarang telah diselimuti kegelapan yang semakin pekat, dan di dalamnya saya tak kuasa lagi membedakan cahaya yang sekecil apa pun dari sepercik sinar, kecuali dua mata berwarna hitam yang dilingkari dua cincin putih yang bersinar-sinar. Semakin say a pertajam pandangan saya kepadanya semakin kelam warna hitam dan putihnya, seakan-akan diilhami oleh sebuah cahaya dari sumber gaib, karena bangsal itu diliputi kegelapan yang menyeluruh, dan malam di luar pun seakan-akan seperti cairan arang batu. Bagi saya seolah-olah saya mengulurkan tangan di tengah kegelapan dan meraih tangannya, atau dia yang muncul di tengah kegelapan meraih tangan saya. Sentuhan yang tiba-tiba itu membuat tubuh saya gemetar dengan rasa nyeri yang mendalam sampai menyerupai rasa nikmat, atau rasa nikmat yang begitu mendalamnya sampai mendekati rasa nyeri. Itu adalah rasa nikmat yang jauh, dikubur di kedalaman yang begitu dalam seakan-akan telah muncul di waktu yang telah lebih lama berlalu daripada yang dapat diingat, lebih tua dari tahun-tahun perjalanan hidup yang masih ada dalam ingatan. Sesuatu yang tidak begitu cepat diingat dan segera dilupakan, seperti telah terjadi sekali sebelumnya, untuk hi lang lenyap selama-Iamanya, atau seperti hal itu sama sekali tak pernah terjadi. Saya membuka mulut dan siap menceritakan semuanya, tetapi dia berkata, "Jangan berkata apa-apa Firdaus." Dia menuntun saya dengan tangannya, melalui jajaran demi jajaran banyak orang, sampai kami menaiki panggung 47 Nawa/ e/-Saadawi tempat kepala sekolah berdiri. Oia mengambil surat tanda tamat belajar, kemudian mencantumkan tanda tangannya untuk menyatakan, bahwa dia pun telah menyerahkan kepada saya surat keterangan prestasi luar biasa. Kepala sekolah membaca nilai yang telah saya peroleh bagi setiap mata pelajaran, dan saya dengar suara bising di dalam bangsal yang menyerupai suara tepuk tangan. Kepala sekolah mengangkat tangannya yang memegang sebuah kotak yang dibungkus kain berwarna dan diikat kain sutera berwarna hijau. Saya mencoba untuk mengulurkan tangan saya, tetapi tak berhasil untuk menggerakkannya. Sekali lagi samar-samar saya melihat Nona Iqbal mendekati Kepala sekolah. Oia mengambil bingkisan itu dari tangan beliau, dan membimbing saya kembali berjalan melalui deretan orang ke tempat saya duduk semula. Saya lalu duduk, meletakkan ijazah di pangkuan, dan meletakkan kotak di atasnya. TAHUN PElAJARAN TElAH sampai pada akhimya. Para bapak dan walimurid telah tiba untuk membawa pulang para gadis. Kepala sekolah telah mengirim sepucuk telegram kepada Paman dan beberapa hari kemudian ia tiba di sekolah untuk membawa saya pergi. Saya tak melihat Nona Iqbal sejak malam upacara itu. Pada malam itu juga, ketika lonceng berbunyi sebagai tanda lampu harus dipadamkan, saya tak dapat tidur dan pergi ke bawah menuju halaman dan duduk send irian di kegelapan. Setiap kali saya dengar bunyi yang datang dari kejauhan, atau merasakan sesuatu yang bergerak, saya melihat ke sekeliling saya. Oi satu saat 48 Perempuan di Titik Nol say a melihat sosok yang berbentuk sama dengan orang sedang bergerak dekat pintu masuk. Saya segera berdiri. jClntung saya berdebClr keras tak terkendali dan darah mengalir ke kepala saya. Kelihatannya bentuk yang saya lihat itu sedang bergerak ke Clrah saya. Saya bangkit dan berjalan untuk menemuinya dengan langkah perlahanĀ­ lahan. Sambil maju saya menyadari bahwa seluruh tubuh saya telah bermandi keringat, termasuk akar rClmbut dan telapak tangCln saya. Saya sendirian di dalarn gelap dan sebuah getClran rasa takut mernasuki diri saya. Saya berseru "Nona Iqbal," tetapi yang keluar hanyalah suatu bisikan yang tak sampai pada telinga saya sendiri. Saya tak dapat mendengar apa-apa dCln rasa takut saya meningkat. Tetapi di sana bentuk itu masih telap ada seukuran dengan lubuh manusia, tarnpak sarnar-samar dalClm kegelapan. Saya berkata dengan suara keras yang sarnpai kepada telinga saya dengan jelas kali ini "Siapa di situ?" Suara saya sendiri telah rnernbangunkan saya dari yang tampaknya seperti suatu mimpi, seperti seorang yang sedang berbicara dengan suara keras di dalarn mimpinya. Rupanya kegelapan telah terangkat sedikit dan memĀ­ perlihatkan sebuah tembok rendah yang tidak disemen kiraĀ­ kira setinggi orang biasa. Itu adalah tembok yang sudah pernah saya lihat sebelumnya, hanya untuk sesaat saya rasakan sepertinya tembok itu baru saja didirikan. Sebelum meninggalkan sekolah itu untuk terakhir kaliĀ­ nya, saya tetap melihat ke sekeliling, melihat semua tembok, jendela, pintu dengan pandangan mata saya tiada hentinya, dengan pengharapan sesuatu akan terbuka sekonyongĀ­ konyong dan memperlihatkan matanya, bila mata itu meĀ­ lihat kepada saya untuk sejenak, atau tangannya melambaiĀ­ 49 Nawal el-Saadawi lambai tanda selamat berpisah. Saya mencari-cari terus seperti orang gila, tanpa hasil. Pada setiap saat saya tetap merasakan kehilangan harapan, hanya untuk mendapatĀ­ kannya kembali sesaat kemudian. Mata saya bergerak ke atas dan ke bawah tiada hentinya, bergerak ke sana ke mari. Dada saya berdebar-debar dengan perasaan emosi yang mendalam. Sebelum kami melewati pintll gerbang saya berĀ­ bisik kepada Paman HTunggulah saya satu menit lagi." Sesaat kemudian saya rnengikutinya ke jalan, dan pintll sudah ditutup di belakang kami. Tetapi saya terlls meĀ­ nengok melihat-lihat ke sekeliling dan melihat kembali ke arah pintu itu beberapa waktu lamanya, seakan-akan ia akan terbuka lagi, atau seperti saya merasakan kepastian, bahwa . seseorang sedang berdiri di belakangnya dan siap untuk membukanya di setiap saat. SAYA BERJALAN DENGAN langkah-Iangkah yang berat di belakang Paman membawa serta bayangan pintu yang tertutup itu yang terukir di benak saya. Pada waktu makan, atau minum, atau berbaring untuk tidur, pintu itll ada di hadapan saya. Saya tahu, bahwa saya sekarang telah kembali di rumah Paman. Perempuan yang tinggal bersamanya adalah isterinya, dan anak-anak yang berlari-Iarian di dalam rumah adalah anak-anak mereka. Tak ada tempat di rumah ini untuk saya, kecuali di atas dipan, sebuah dipan yang kecil ditempatkan di ruang makan dekat dengan tembok tipis yang memisahkan ruangan itu dengan ruangan tidur. Dan dengan begitu setiap malam saya dapat mendengar 50 Perempuan di Titik Nol suara mereka yang direndahkan berbisik-bisik di balik tcmbok pemisah itu. "Tidak mudah untuk mencari pekerjaan sekarang ini apabila yang kau miliki hanyalah ijazah sekolah menengah." "Lalu apa yang bisa ia perbuat sekarang?" "Sama sekali tak ada. Sekolah menengah i t u tak mengajarkan mereka apa-apa. Saya seharusnya mengi rimĀ­ kannya ke sebuah latihan dagang." "Tak ada gunanya bicara tentang apa yang seharusnya dapat lakukan. Apa yang akan kau lakukan sekarang?" "Dia dapat tinggal bersama kita sampai saya mendapatĀ­ kan pekerjaan baginya." "Itu dapat makan waktu bertahun-tahun. Rumah ini kecil dan kehidupan mahal. Dia makan dua kali sebanyak anakĀ­ anak kita." "Dia membantumu dan anak-anak di rumah." "Kita punya gadis pembantu, dan saya masak sendiri. Kita tidak memerlukannya." "Tetapi dia dapat meringankan pekerjaan kamu dengan membantu memasak." "Saya tidak suka masakan dia. Kau tahu, yang mulia, memasak adalah 'semangat yang kau tiup' ke dalamnya. Dan saya tidak suka apa yang dia 'hembuskan' ke dalam masakannya, dan kau juga tidak. Kau tidak ingat okra yang dimasaknya untuk kita? Kau katakan kepadaku bukannya okra yang telah terbiasa bagimu untuk dimakan bila aku membuatnya dengan tanganku sendiri." "Jika kau pelihara dia bukannya Saadia, kita akan menghemat dengan gaji gadis itu." "Dia tidak akan dapat menggantikan Saadia. Saadia seorang yang lincah geraknya dan cekatan, dan ia bekerja sepenuh hati. Tambahan pula dia tidak begitu senang pada makanan atau 51 Nawal el-Saadawi tidur berjam-jam lamanya. Tetapi gadis ini, setiap gerakanĀ­ nya lamban dan berat. Dia berdarah dingin dan sikapnya kurang hati-hati." "Apa yang akan kita perbuat dengannya?" "Kita bisa bebas dari dia dengan mengirimkannya ke universitas. Di sana dia dapat tinggal di asrama puteri." "Ke universitas? Ke suatu tempat di mana dia akan duduk bersebelahan dengan laki-Iaki? Seorang syekh dan laki-Iaki yang saleh macam aku ini akan mengirimkan kemenakan untuk berbaur dengan kumpulan orang laki-Iaki?! Di samping itu, dari mana kita mencari uang untuk biaya hidup, dan buku serta bajunya? Kau tahu betapa tingginya biaya hidup sekarang ini. Harga-harga seperti bertambah gila, dan gaji pegawai pemerintah hanya naik sedikit sekali." "Yang mulia, aku punya gagasan yang bagus." "Gagasan apa itu?" "Pamanku, Syekh Mahmoud adalah seorang yang terhormat. Dia punya pensiun yang besar dan tak pllnya anak-anak, dan ia masih hidup sendirian sejak isterinya meninggal tahun yang lalu. Bila ia menikah dengan Firdaus, Firdaus akan memperoleh kehidupan yang baik bersamaĀ­ nya, dan ia akan mendapatkan pada diri Firdaus seorang isteri yang penurut, yang akan melayaninya dan akan meĀ­ ringankan kesunyiannya. Firdaus telah bertambah besar, yang mulia, dan harus dikawinkan. Terlalu banyak risikonya bagi Firdaus bila terus-terllsan tak bersuami. Dia adalah seorang gadis yang baik, tetapi dunia ini sudah penuh dengan bergajul." "Aku setuju dengan kamu, tetapi Syekh Mahmoud terlalu tua bagi dia." "Siapa bilang dia sudah tua! Dia baru saja pensiun tahun 52 Perempuan di Titik Nol ini, dan Firdaus pun tidak terlalu muda. Gadis-gadis seusia dia sudah kawin bertahun-tahun sebelumnya dan sudah melahirkan anak. Seorang yang tua tetapi yang dapat dipereaya masih lebih baik daripada seorang yang muda yang memperlakukannya dengan eara yang menghina, atau memukul. Anda tahu bagaimana orang muda jaman sekarang." "Aku setuju dengan kau. Tetapi kau jangan lupa eaeatĀ­ nya yang terlihat benar di mukanya." "eaeat? Siapa bilang itu sebuah eaeat. Selain itu, yang mulia, seperti biasa dikatakan, 'tiada yang memalukan seorang lelaki keeuali kanlongnya yang kosong. '" "Seandainya Firdaus menolaknya?" "Mengapa dia akan menolaknya? Ini adalah kesempatan yang terbaik untuk menikah. Jangan lupa hidung yang diĀ­ milikinya. Besar dan jelek bagaikan eangkir timah. Oi sam ping ilu, dia tak punya warisan apa-apa, dan tak punya penghasi Ian send iri. Kita tidak akan dapat memperoleh suami yang lebih baik bagi dia daripada Syekh Mahmoud." "Kaupikir Syekh Mahmoud akan menerima dengan hati gagasan ini?" "jika aku bieara dengannya aku yakin dia akan setuju. Saya bermaksud untuk minta mas kawin yang besar darinya. "Berapa banyaknya?" "Seratus pon, atau barangkali malahan dua ratus j ika ia punya uang." "Jika ia membayar seratus pon, maka Allah benar-benar telah bermurah hati kepada kita, dan saya tidak berlaku serakah untuk meminta yang lebih banyak." "Aku akan mulai dengan dua ratus. Anda tahu dia adalah seorang lelaki yang dapat bertengkar berjam-jam mengenai lima kelip, dan akan bunuh diri demi uang satu piaster." 53 Nawal el-Saadawi "Jika ia mau membayar uang seratLls pon, itLl akan merupakan suatu rahmat dari Allah. Saya akan mampu melunasi hLltang-hutangkLl dan membeli pakaidn dalam, juga satu atau dLla baju untuk Firdaus. Kita tidak akan membiarkan dia kawin dengan baju yang dia pakai sekarang." "Bagaimanapun juga, kau tak periu khZlwatir mengenai perlengkapan pengantinnya, atau tentang mellbel atau alat-alat rumah tangga. Rumah Syekh Mahmoud sudah lengkap dan meubel yang ditinggalkan almarhum istprinya barang-barang yang bermutu, jauh lebih baik dari barang-bZlrang asal jadi yang kau bisa peroleh sekarang ini." "Untuk pastinya, apakah yang kau kZltakan itu sesuatu yang benar?" "Aku bisa bersumpah demi Allah, yang mulia, bahwa Tuhan sesungguhnya mencintai kemenakan anda itll, karena itu ia akan benar-benar beruntung bila Syekh Mahmoud setuju untuk mengawininya." "Kau pikir dia mau?" "Dan mengapa dia akan menolak? Dengan perkawinan ini dia akan berkerabat dengan seorang syekh dan orang saleh yang terhormat. Bukankah itu sendiri sudah menjadi alasan yang cukup baginya untuk menerima usul itu?" "Barangkali dia sedang berpikir untuk mengambi I seorang perempuan dari keluarga yang kava. Kau tahu bagaimana dia menyembah piaster." "Dan apakah yang mulia menganggap diri-sendiri sebagai seorang yang miskin. Kita bernasib lebih baik daripada kebanyakan orang lainnya. Terima kasih kepada Allah untuk segala-galanya." "Sungguh, kita penuh dengan rasa terima kasih kepada Allah untuk segalanya yang Dia telah limpahkan kepada kita. Semoga Dia selalu terpuji dan diagungkan. Sungguh 54 Perempuan di Titik Nol hati kita behar-benar penuh dengan rasa syukur kepada Allah yang Mahakuasa." Dalam khayalan, saya hampir dapat melihat Paman mencium telapak dan punggung tangannya sendiri dan kemudian terdengar ia mencium telapak tangan isterinya. Melalui dinding pemisah yang tipis itu, suara kecupan dari kedua ciuman itu sampai ke saya satu demi satu, dan sejenak kemudian berulang kembali ketika dia menggerakkan kedua bibirnya ke arah tangan, atau barangkali ke arah lengan atau kaki isterinya, karena saya mulai mendengar isterinya memĀ­ protes "Tidak, yang mulia, tidak," sambi! mengelakkan lengan atau kaki dari pelukan suaminya. Disusul oleh suara suaminya, bergumam dalam nada yang lembut, direndahkan, yang hampir menyerupai rangkaian singkat ciuman-ciuman baru. "Apa yang tidak, perempuan?" Tempat tidur keduanya berderik, dan saya sekarang dapat mendengar suara napas mereka, tak teratur, berdesah, dan suara isterinya manakala kembali memprotes "Tidak yang mulia, demi Nabi. Tidak, ini hawa nafsu." Kemudian nada suaminya yang tertahan kembali mendesis "Kau perempuan, kau ... Nafsu apa, dan apa Nabi? Aku adalah suamimu dan kau adalah isteriku." Tempat tidur berderik iebih keras di bawah tubuh mereka yang berat, yang terkunci dalam suatu perjuangan, bergantian saling mendekat dan menjauh di dalam suatu gerakan yang bersinambungan, mula-mula lambat dan berat, kemudian secara bertahap beralih menjadi gerakan dengan kecepatan yang aneh, hampir seperti gerakan yang kegila-gilaan iramanya, yang menggoncangkan tempat tidur dan lantai, dan dinding di antara kami dan malahan dipan 55 Nawal el-Saadawi tempat saya berbaring. Saya merasa tubuh saya bergetar bersama dipan, napas saya menjadi semakin cepat, sedemikian rupa sehingga setelah sejenak saya pun mulai terengah-engah dengan kegilaan yang serupa. Kemudian, perlahan-Iahan, ketika gerakan mereka berkurang suara napas menjadi sunyi kembali, dan lambat-Iaun saya pun kembali menjadi tenang. Napas saya menjadi wajar dan teratur, dan saya tertidur dengan tubuh bermandikan keringat. KEESOKAN PAGINYA SAYA menyiapkan sarapan pagi untuk Paman. la memandang ke atas untuk menatap saya ketika membawakan gelas atau cangkir berisi air, tetapi setiap kali, saya membuang muka ke arah yang lain untuk menghindari pandangan matanya. Saya menunggu sampai ia berangkat, kemudian berjongkok di bawah d ipan kayu, saya ambil sepatu saya, memakainya dan mengenakan pakaian. Saya buka kopor kecil saya, melipat gaun tidur, lalu mengemasnya ke dalam kopor, dan saya tempatkan ijazah sekolah menengah dan surat keterangan pengĀ­ hargaan di atasnya, sebelum saya menutupnya kembali. Isteri paman sedang memasak di dapur, dan Saadia, si pembantu, sedang memberi makanan anak-anak di kamar mereka. Hala, adik sepupu saya yang paling muda, saat itu datang dan masuk kamar. Kedua matanya yang hitam terbelalak, memandang lama ke arah baju sepatu dan kopor kecil saya. Dia belum pandai bicara dan dia tidak dapat mengucapkan kata Firdaus, jadi, dia biasanya memanggil saya 'Daus.' Dia adalah satu-satunya dari anak-anak itu yang tersenyum kepada saya, dan apabila saya sedang 56 Perempuan di Titik Nol sendiri di dalam kamar, dia akan datang dan meloncat ke atas dipan dan berkata "Daus, Daus. " Sdya mengelus-elus rambutnya dan menjawab, "Ya, Hala." "Daus, Daus," jawabnya, dan ketawa geli, dan berusaha supaya saya bermain dengannya. Tetapi segera akan terdengar suara ibunya memanggil dari luar, sehingga dia akan meloncat turun dari atas dipan, dan pergi berjalan dengan kaki-kakinya yang kecil. Mata Hala terus-menerus ditujukan ke sepatu saya, ke arah baju saya, ke arah kapor kecil saya,kemudian berbalik kembali. Dia memegangi kelim baJu saya, dan tetap berkata "Daus, Daus." Saya berbisik ke telinganya, "Saya akan kembali, Hala." Tetapi dia tetap tidak mau diam. Jari-jarinya memegang erat tangan saya dan teru5 saja mengulang, "Daus, Daus." Saya berikan dia sebuah foto saya untuk mengalihkan perhatiannya, saya bukc pintu flat itu, melangkah keluar dan menutupnya diarn-diam di belakang saya. Saya dengar suaranya berseru-seru di balik pintu "Daus, Daus. Saya lari ke bawah menuruni tangga, tetapi suaranya terus menggema, didalam telinga saya sarnpai saya mencapai lantai dasar .. dan menuju jalanan. Ketika saya telah melangkah lebih jauh di atas jalan aspal, saya masih tetap dapat mendengar suaranya, entah dari mana di belakang saya. Saya berbalik, tetapi tidak melihat siapa pun juga. Saya berjalan sepanjang jalan seperti yang telah berkali-kali saya lakukan sebelumnya, tetapi kali ini rasanya agak beriainan, karena saya tidak punya tujuan tertentu. Sebenarnya, saya tak punya tujuan ke arah mana saya melangkah. Ketika saya memandang ke arah jalan, seakan-akan saya melihatnya untuk pertama kali. Suatu dunia baru telah terbuka di hadapan mata s a y a, su atu dunia yang bagi saya belum pernah ada. 57 Nawal el-Saadawi Barangkali selalu ada di situ, selalu hadir, tetapi saya belum pernah melihatnya, belum pernah menyadari, bahwa itu selalu telah ada. Bagaimana mungkin, bahwa saya buta terhadap kehadirannya selama bertahun-tahun ini? Sekarang seakanĀ­ akan ada mata ketiga yang sekonyong-konyong muncul di kepala saya. Saya dapat melihat kerumunan orang bergerak daiam arus yang tak putus-putusnya sepanjang jalan, ada yang berjalan kaki, yang lainnya naik bis dan mobil. Semua dalam keadaan tergesa-gesa, berlalu cepat, tak acuh tentang apa yang terjadi di sekeliling mere ka. Tak seorang pun yang memperhatikan saya ketika saya berdiri di sana sendirian. Dan karena mereka tidak memperhatikan saya, maka say a dapat mengamati mereka. Ada orang-orang yang memakai baju kolor dan sepatu yang sudah usang. Muka mereka pucat, matanya pudar, lesu, berat dan penuh rasa sedih dan khawatir. Tetapi mereka yang naik mobil memiliki bahu yang lebar berotol, dan pipi mereka penuh serta bulat. Dari balik jendela kaca mereka memandang ke luar dengan mata penuh rasa waspada, curiga, mata yang bersiap untuk menerkam secara ganas, tetapi mendekati sikap merendah. Saya tidak dapat membedakan muka atau mata mereka yang naik bis, hanya kepala dan punggung mereka, yang dapat saya lihat berdesak-desak satu sama lainnya, memenuhi seluruh tempat di dalam bis, melimpah sampai ke tangga dan atapnya. Bila bis berhenti sampai di tempat pemberhentian di stasi un, atau sedang mengurangi kecepatannya, saya dapat melihat sekilas mukaĀ­ muka penuh prasangka berkilat oleh keringat, dan mata yang menonjol mengungkapkan rasa takut. Saya tercengang oleh banyaknya orang-orang yang meĀ­ menuhi jalanan di mana-mana, tetapi lebih tercengang lagi melihat cara mereka bergerak seperti makhluk-makhluk buta yang tak dapat melihat dirinya sendiri, atau siapa pun. Rasa 58 Perempuan di Titik Nol heran saya semakin besar ketika sekonyong-konyong saya menyadari bahwa saya telah menjadi seorang di antara mereka. Kesadaran ini telah memenuhi hati saya dengan perasaan yang mula-mula terasa sebagai suatu yang menggembirakan, tetapi dengan cepat berubah seperti sikap keheranan seorang bayi yang membuka matanya untuk pertama kali memandang dunia sekelilingnya, dan sesaat kemudian berteriak menangis ketika ia merasa berada dalam suatu lingkaran baru, yang sebelumĀ­ nya tak pernah ia tahu. Ketika ma!am tiba, saya helum menemllkan sebuah tempat di mana saya dapat tinggal dan menghabiskan waktu berjam jam lamanya sampai pagi. Say a merasakan sesuatu jauh di dalam diri saya yang sedang menjerit-jerit kebingungan. sekarang saya merasa sangat lelah, perut saya sakit karena lapar. Saya bersandar pada sebuah tembok dan berdiri sejenak sambil melihat sekeliling. Saya dapat melihat jalan yang membentang lebar di hadapan saya lallt. Oi sini saya, bagaikan sebutir batu yang dilemparkan orang ke dalam air, melunclIr bersama kerumllnan orang banyak di dalam bis dan mobil, atall berjaliln kaki di jalanan, dengan mata yang tak melihat, tak mampu untllk memperhatikan sesuatu atau seseorang. Tiap menit seribu mata berlalu di hadapan saya, tetapi bagi mcreka sa,a tetap tidak Jda. Oalam kegelapan sekonyong-konyong saya menangkap dua bllah mata, atau merasakan adanya, bergerak ke arah saya dengan perlah itu sebentar, kemudian secara bertahap mulai naik ke atas ke arah kaki, paha, perut, dada, pundak dan akhirnya berhenti, memusatkan dirinya ke dalam mata saya, dengan kesungguhan yang sama dinginnya. 59 Nawal el-Saadawi Rasa gemetar melintasi sekujur tubuh saya, seperti rasa takut mati, atau seperti kematian itu sendiri. Saya tegangkan otot-otot punggung dan muka saya untuk menahan rasa gemetar itu dan menguasai perasaan ngeri yang menjalari seluruh jiwa saya. Karena, bagaimanapun juga saya tidak berhadapan dengan sebuah tangan yang memegang pisau atau pisau cukur, tetapi hanya dengan dua buah mata, tidak lain hanya dua buah mata. Saya menelan ludah dengan susah-payah dan melangkahkan satu kaki ke muka. Saya mampu menggerakkan tubuh saya beberapa langkah menghindar dari kedua mata itu, tetapi saya merasakannya pada punggung saya, menembus tubuh saya dari belakang. Saya melihat sebuah warung kecil yang diterangi cahaya lampu terang benderang dan mempercepat langkah saya ke warung itu. Saya melangkah masuk dan bersembunyi di antara kerumunan orang. Beberapa saat, kemudian saya keluar, lalu dengan hati-hati melihat ke kiri dan ke kanan jalan. Setelah yakin bahwa kedua mata itu telah hilang saya cepatĀ­ cepat berlari di trotoar. Sekarang hanya satu pikiran saya. Bagaimana bisa sampai di rumah Paman secepat mungkin. SETELAH KEMBAlI SAYA tak tahu bagaimana saya bertahan hidup di rumah Paman, saya pun tak ingat lagi bagaimana saya menjadi isteri Syekh Mahmoud. Apa yang saya ketahui adalah apa yang harus dihadapi di dunia telah menjadi kurang menakutkan daripada bayangan kedua mata itu, yang menyebabkan bulu roma saya berdiri apabila teringat kembali. Saya tak dapat membayangkan warnanya, hijau atau hitam, atau warna lain. Saya pun tak dapat mengingat benar bentuknya, apakah besar, terbuka lebar, atau hanya 60 Perempuan di Titik Nol berbentuk sipit. Tetapi, setiap kali say a berjalan-jalan di jalan r aya, baik s i a n g ataupun malam, s a y a akan memandang sekeliling dengan hati-hati, kalau-kalau kedua mata itu sekonyong-konyong akan muncul melalui suatu lubang di dalam tanah dan berhadapan dengan saya. Saatnya pun tiba ketika saya berangkat meninggalkan rumah Paman dan hidup bersama Syekh Mahmoud. Sekarang saya tidur di atas tempat tidur yang lebih menyenangkan daripada dipan kayu. Tetapi belum lama saya membaringkan tubuh di atasnya untuk istirahat karena leiah sesudah memasak, mencuci serta membersihkan rumah yang besar itu dengan ruangan-ruangan yang penuh meubel, maka Syeikh Mahmoud akan muncul di samping saya. Usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, sedangkan saya belum lagi sembilan belas. Pada dagunya, di bawah bibirnya, terdapat bisul yang membengkak lebar, dengan sebuah lubang di tengah-tengahnya. Beberapa hari lubang itu bisa kering, tetapi di hari-hari lainnya lubang itu bisa berubah menjadi sebuah keran yang sudah karatan dan mengeluarkan tetesan berwarna merah seperti darah, atau putih kekuningĀ­ kuningan seperti nanah. . Apabila lubangnya kering, saya biarkan dia menciumi saya. Saya dapat merasakan bisul yang bengkak itu di muka dan bibir saya seperti sebuah dompet kecil, atau seperti sebuah kantong tempat air, penuh dengan cairan berminyak. Tetapi pad a hari-hari lubang itu tidak kering say a akan memalingkan bibir dan muka saya menjauh dan mengĀ­ hindari bau bangkai anjing yang keluar dari lubang itu. Pada waktu malam dia akan melingkarkan kaki dan lengannya memeluk tubuh saya, dan lengannya yang berkenyal-kenyal dan sudah tua itu menggerayangi seluruh 61 Nawal el-Saadawi tubuh saya, seperti kuku-kuku seorang lelaki yang hampir mati kelaparan karena tidak memperoleh makanan selama bertahun-tahun dan menghabiskan semangkuk makanan, tanpa meninggalkan sebutir pun sisa makanan. la tidak punya kemampuan untuk makan banyak. Bisul pad a mukanya menghalangi gerakan rahangnya dan perutnya yang sudah berkerut terganggu karena terlalu banyak makan. Sekalipun dia hanya dapat makan sedikitĀ­ sedikit, tetapi setiap kali dia akan menyeka piringnya sampai bersih, mengusap sepotong roti di antara jemarinya tiada henti-hentinya sampai benar-benar tak ada sedikit pun sisa yang tertinggal. la tetap memandang pada piring saya ketika saya sedang makan, dan jika saya tinggalkan sesuatu dia akan mencomotnya, memasukkan ke dalam mulutnya dan setelah menelan dengan eepat dia akan memarahi saya karena pemboros. Padahal saya tidak membuang apa-apa, dan makanan yang tertinggal di piring adalah sisa-sisa keeil yang menempe l pad a permukaan, dan hanya dapat dilepaskan dengan sabun dan air. Jika lengan dan kakinya terlepas dari badan saya, dengan pelahan-Iahan saya akan keluar dari bawah badannya, dan pergi dengan berjingkat ke kamar mandi. Oi sini saya akan membasuh muka dan badan saya dengan teliti, juga lengan dan paha, dan setiap bagian dari tubuh saya, jangan sampai ada yang ketinggalan barang seinei pun, berulang-ulang menggosok dengan sabun dan air. la telah mengundurkan diri dari pekerjaannya, tak ada kerja, tak ada kawan. la tak pernah keluar rumah, atau duduk di warung kopi, karen a segan mengeluarkan uang beberapa piaster untuk seeangkir kopi. Sepanjang hari ia tetap di samping saya di rumah, atau di dapur, menunggui saya ketika sedang memasak atau meneuei. Apabila saya 62 Perempuan di Titik Nol mengeluarkan bubuk sabun dari bungkus nya dan menjatuhkan beberapa butir di lantai, ia akan meloneat dari kursinya dan mengeluh bahwa saya kurang hati-hati. Dan bila saya menekan lebih keras daripada biasanya dengan sendok jika saya mengambil ghee dari kaleng untuk memasak, dia akan berteriak karena marahnya, dan minta perhatian saya untuk kenyataan, bahwa isinya lebih eepat habis dari yang seharusnya. Bila tukang sampah datang untuk mengambil sampah dari tempatnya, dia akan memeriksa dengan hati-hati sebelum meletakkannya di luar. Suatu hari ia menemukan sisa makanan dan ia mulai berteriak-teriak begitu kerasnya, sehingga semua tetangga dapat mendengar. Setelah peristiwa itu, ia mempunyai kebiasaan untuk memukul saya, apakah dia mempunyai alasan ataupun tidak. Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah dan pergi ke rumah Paman. Tetapi Paman mengatakan kepada saya bahwa semua suami memukul isterinya, dan isterinya menambahĀ­ kan bahwa suaminya pun seringkali memukulnya. Saya katakan, banwa Paman adalah seorang syeikh yang terhormat, terpelajar dalam hal ajaran agama, dan dia, karena itu, tak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya. Dia menjawab, bahwa justru laki-Iaki yang memahami agama itulah yang suka memukul isterinya. Aturan agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu. Seorang isteri yang bijak tidak layak mengeluh tentang suaminya. Kewajibannya ialah kepatuhan yang sempurna. Saya tak tahu harus menjawab apa. Sebelum pembantu mulai meletakkan makan siang di atas meja, Pamar-1 telah mengantarkan saya kembali ke rumah suami saya. Ketika 63 Nawal el-Saadawi kami tiba ia telah makan siang sendirian. Malam pun tiba, tetC\pi dia tidak bertanya apakah saya lapar. Dia makan malam sendirian dengan berdiam diri, tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada saya. Keesokan paginya, saya menyiapkan makan pagi dan dia duduk di kursinya untuk sarapan, tetapi menghindar untuk melihat kepada saya. Ketika saya duduk di dekat meja makan, ia menengok dan mulai melihat ke piring saya. Saya sangat lapar dan ingin sekali makan sesuatu, apa pun yang terjadi. Saya masukkan tangan saya ke dalam piring dan mengangkatnya ke mulut dengan sepotong makanan. Tetapi begitu saya lakukan hal itu maka ia meloncat sambi I berteriak "Mengapa kau kembali dari rumah pamanmu? Apakah dia tidak sanggup memberimu makan untuk beberapa hari saja? Sekarang kau melarikan diri dariku? Mengapa kau memalingkan mukamu dari mukaku? Apakah aku ini buruk? Apakah aku ini bau busuk? Mengapa kau menjauhi aku jika aku mendekatimu?" Dia melompat ke arah saya bagaikan seekor anjing gila. lubang pada bisulnya sedang mengeluarkan tetesan nanah yang baunya bukan kepalang. Saya tidak memalingkan muka atau hidung saya kali ini. Saya menyerahkan muka saya ke mukanya dan tubuh saya kepada tubuhnya, pasif tanpa perlawanan, tanpa suatu gerakan, seperti telah tidak bernyawa, seperti batang kayu mati atau seperti meubel tua yang sudah tidak dihiraukan, tertinggal di tempatnya berdiri, atau seperti sepasang sepatu yang terlupakan di bawah sebuah kursi. Suatu hari dia memukul saya dengan tongkatnya yang berat sampai darah keluar dari hidung dan telinga saya. Lalu saya pergi, tetapi kali ini saya tidak pergi ke rumah Paman. Saya berjalan-jalan di jalan raya dengan mala yang bengkak, 64 Perempuan di Titik Nol muka memar, tetapi tak seorang pun yang memperhatikan saya. Orang-orang bergegas di sekeliling dalam bis dan mobil, atau berjalan kaki. Seakan-akan mereka itu buta, tak sanggup melihat sesuatu. Jalanan merupakan suatu dataran yang tak berujung membentang di hadapan saya laut. Saya hanya sebuah batu yang dilemparkan ke dalamnya, dipukul-pukul gelombang dilempar kesana kemari, bergeĀ­ linding berguling-guling untuk akhirnya terhempas entah di mana di tepi pantai. Setelah beberapa lama saya menjadi lelah karena berjalan-jalan, saya duduk beristirahat di atas sebuah kursi kosong yang sekonyong-konyong saya temukan di atas trotoar. Harum semerbak kopi sampai ke lubang hidung saya. Saya menyadari lidah saya kering dan bahwa saya lapar. Ketika pelayan muncul di depan saya dan bertanya apa yang ingin saya minum, saya minta kepadanya untuk membawakan segelas air. Dia melihat ke arah saya dengan sikap marah, dan berkata bahwa warung itu bukan untuk orang-orang lewat. Dia menambahkan, bahwa mausoleum Sayida Zeinab sangat dekat, dan di sana saya dapat memperoleh air sebanyak yang saya perlukan. Saya menengadah untuk memandangnya. Dia melihat kepada saya,dan kemud ian bertanya apa yang menyebabkan memar pada muka saya. Saya berusaha menjawabnya, tetapi kata-kata tidak mau keluar. Maka saya menutup muka saya dengan tangan, lalu menangis. la tertegun sebentar, kemudian meninggalkan saya, dan tak lama kemudian kembal i dengan segelas air. Tetapi ketika saya mengangkat gelas itu ke mulut saya, airnya terhenti di tenggorokan, seakan-akan saya tercekik dan mengalir kembali keluar dari mulut saya. Setelah beberapa lama, pemilik warung kopi itu datang menghampiri tempat saya duduk dan menanyakan nama saya. 65 Nawal el-Saadawi "Firdaus," kata saya. Kemudian ia tambahkan, "Apa yang menyebabkan memar-memar pada muka Anda? Apakah seseorang telah memukul Anda?" Sekali lagi saya berusaha untuk memberi penjelasan tetapi suara saya tersendat lagi. Saya bernapas dengan susah, dan tetap saja menahan tangis saya. Dia berkata, NTinggaliah di sini dan istirahatlah sebentar. Saya akan membawakanmu secangkir teh panas. Kau lapar?" Selama itu saya masih saja memusatkan pandangan mata saya ke arah tanah, dan sama sekali tidak memandang ke atas untuk melihat mukanya. Suaranya rendah, dengan bunyi agak serak yang mengingatkan saya kepada ayah saya. Setelah selesai menyantap makanan dan memukul Ibu lalu setelah tenang kembali, Ayah akan bertanya kepada saya "Kau lapar?" Untuk pertama kali dalam hidup sekonyong-konyong saya merasakan bahwa Ayah itu lelaki yang baik, sehingga saya merasakan kehilangan, dan jauh di dalam lubuk hati saya mencintai tanpa mengetahuinya benar-benar. Saya dengar orang itu berkata "Apakah ayahmu masih hidup?" Saya jawab, "Tidak, dia sudah meninggal," dan untuk pertama kalinya saya menangis ketika ingat bahwa dia sudah tiada. Laki-Iaki itu menepuk-nepuk bahu saya dan berkata "Setiap orang harus mati, Firdaus." Dia menambahkan, "Bagaimana dengan ibumu. Apakah dia masih hidup?" "Tidak," jawab saya. Dia mendesak. "Kau tidak punya keluarga? Seorang saudara laki-Iaki, atau seorang paman misalnya?" 66 Perempuan di Titik Nol Saya menggelengkan kepala, mengulang "Tidak," dan kemudian dengan cepat membuka tas kecil saya, seraya menambahkan, "Saya punya ijazah sekolah mene"lgah. Barangkali saya dapat menemukan suatu pekerjaan dengan ijazah sekolah menengah ini, atau dengan ijazah sekolah dasar saya. Tetapi jika perlu saya siap untuk melakukan apa saja, sekalipun jenis pekerjaan yang tidak memerlukan ijazah." Namanya Bayoumi. Ketika say a memandang ke atas dan melihat mukanya, saya tidak merasa takut. Hidungnya mirip hidung ayah. Hidungnya besar dan bulat, dan warna kulitnya gelap pula. Matanya menunjukkan sikap pasrah dan tenang. Bagi saya kelihatannya tidak seperti mata seseorang yang dapat membunuh. Kedua tangannya memperlihatkan sikap penurut, hampir-hampir bersifat tunduk, gerakannya tenang, santai. Kedua tangannya tidak mengesankan sebagai tangan-tangan seseorang yang dapat berbuat ganas atau kejam. Dia berkata, bahwa dia tinggal di dua kamar dan bahwa saya dapat tinggal di sebuah kamar sampai saya memperoleh pekerjaan. Da lam perjalanan menuju rumahnya, dia berhenti d i depan warung penjual buah-buahan dan berkata "Kau lebih menyukai jeruk manis atau jeruk keprok?" Saya berusaha untuk menjawab tetapi suaranya tak keluar. Tak seorang pun sebelumnya pernah bertanya kepada saya apakah saya lebih suka jeruk manis atau jeruk keprok. Ayah tidak pernah membelikan kami buah-buahan. Paman dan suami saya biasanya membeli buah-buahan tanpa bertanya pada saya apa yang lebih saya sukai. Sesungguhnya, bagi saya sendiri, belum pernah terpikir apakah saya lebih menyukai jeruk manis atau jeruk keprok, 67 Nawal el-Saadawi atau lebih menyukai jeruk keprok atau jeruk man is. Saya dengar dia bertanya lagi kepada saya "Kau lebih suka jeruk manis atau jeruk keprok?" "Jeruk keprok," ja ..,ab saya. Tetapi setelah dia meri1belinya, saya menyadari, bahwa saya lebih suka jeruk manis, tetapi saya malu untuk berkata demikian, karena jeruk keprok hargaĀ­ nya lebih murah. Bayoumi memiliki dua buah kamar dalam flat di sebuah gang yang sempit. Memiliki pemandangan ke bawah ke arah pasar ikan. Saya harus menyapu dan membersihkan kamarĀ­ kamar itu, membeli ikan dari pasar di bawah rumah kami, atau seekor kelinci, atau daging dan memasak untuknya. Dia bekerja sepanjang hari di warung kopi tanpa makan, dan apabila dia pulang pada petang harinya, dia akan makan dengan lahap, dan kemudian pergi tidur d i kamarnya. Saya biasa tidur d i kamar sebelah, d i lantai, di atas sebuah kasur. Pada waktu itu musim dingin dan malamnya dingin, ketika pertama kali saya ikut bersamanya ke rumahnya. Dia berkata kepada saya "Pakailah tempat tidur, dan saya akan tidur di lantai." Tetapi saya menolak. Saya merebahkan diri di lantai dan hampir tertidur. Tetapi dia datang, memegang lengan saya, dan membimbing saya ke tempat tidur. Saya berjalan di sebelahnya dengan kepala tertunduk. Saya begitu malu, sehingga tersandung beberapa kali. Belum pernah dalam bidup saya ada seseorang yang lebih mementingkan saya daripada dirinya sendiri. Ayah biasanya menguasai ruangan tungku pada musim dingin dan memberi saya kamar yang paling dingin. Paman menempati tempat tidur untuk dirinya sendiri, s edangkan saya tidur di atas dipan k a y u. Kemudian, ketika saya telah kawin, suami saya makan dua 68 Perempuan di ritik Nol kali lebih banyak daripada saya, tetapi kedua matanya tidak pernah beralih dari piring saya. Saya berdiri sejenak dekat tempat tidur dan bergumam, "Tetapi saya tak dapat tidur di atas tempat tidur." Saya dengar dia berkata, "Aku tidak akan membiarkan kamu tidur di lantai." Kepala saya masih tertunduk ke bawah. la masih meĀ­ megang erat lengan saya. Saya dapat melihat tangannya, besar dan jari-jarinya panjang seperti yang dimiliki Paman apabila dia menyentuh saya, dan sekarang tangan-tangan itu gemetar juga seperti itu. Dan demikianlah, maka saya menutup kedua mata saya. Saya merasakan sentuhannya yang tiba-tiba, bagaikan suatu mimpi yang mengirigatkan masa lampau, atau suatu kenangan yang mulai dengan kehidupan. Tubuh saya terĀ­ sentuh rasa nikmat yang tidak jelas atau oleh perasaan sakit yang sebenarnya bukan rasa sakit tetapi rasa n ikmat, dengan rasa nikmat yang saya belum tahu sebelumnya, yang pernah hidup di kehidupan lain, yang bukan kehidupan saya, atau yang ada dalam tubuh lain, yang bukan tubuh saya. Saya akhirnya tidur di atas tempat tidurnya sepanjang musim dingin dan musim panas berikutnya. Dia tak pernah mengangkat tangannya untuk memukul saya, dan tak pernah melihat ke arah piring saya bila saya sedang makan. jika saya memasak ikan biasanya saya berikan semua kepadanya, saya hanya mengambil bagian kepala atau ekornya saja. Atau jika saya memasak kelinci, saya berikan seluruhnya padanya dan saya makan kepalanya. Saya selalu meninggalkan meja makan tanpa pernah menghilangkan rasa lapar saya. Dalam perjalanan menuju pasar mata saya akan mengikuti gadis-gadis anak sekolah apabila mereka 69 Nawal el-Saadawi berjalan melalui jalanan itu, dan saya akan teringat bahwa satu sa at saya pernah menjadi salah seorang di antara mereka itu, dan telah memperoleh ijazah sekolah menengah. Dan pada suatu hari saya berhenti tepat di muka gadis-gadis itu dan berdiri berhadapan dengan mereka. Mereka memandang saya dari atas sampai ke bawah dengan sikap menghina karena bau ikan yang teramat sangat, yang keluar dari baju saya. Saya jelaskan kepada mereka bahwa saya sudah memperoleh ijazah sekolah menengah. Mereka mulai menertawakan saya, dan saya dengar salah seorang di antara mereka berbisik-bisik di telinga kawannya "Mungkin dia orang gila. Tak kau lihat, dia berbicara kepada dirinya sendiri?" Tetapi saya bukan berbicara dengan diri-sendiri. Saya sedang berkata kepada mereka, bahwa saya pllnya ijazah sekolah menengah. Malam itu, ketika Bayoumi pulang ke rumah, saya berkata, "Saya punya ijazah sekolah menengah, dan saya ingin bekerja." "Setiap hari warung kopi itu dikerumuni oleh anak-anak muda yang mencari pekerjaan, dan semuanya memiliki pendidikan universitas," katanya. "Tetapi saya harus bekerja. Saya tak dapat terus hidup seperti in i." Tanpa memandang ke arah muka saya, dia berkata, "Apa yang kau maksud, kau tak dapat terus hidup seperti ini?" "Saya tak dapat terliS tinggal di rumahmu," kata saya dengan gagap. "Saya perempuan, dan kau laki-Iaki, dan orang membicarakan kita. Di samping itu, kau telah berjanji saya akan tinggai di sini sampai kau mendapatkan pekerjaan bagi saya." 70 Perempuan di Titik Nol Dengan marah dia menjawab pedas, "Apa yang dapat kuperbuat, minta bantuan pada langit?" "Kau sibuk sepanjang hari di warung kopi, dan kau pun belum pernah berusaha untuk mencarikan aku pekerjaan. Aku akan pergi sekarang untuk mencari pekerjaan." Saya bicara dengan nada rendah, dan kedua mata saya dipusatkall ke arah tanah, tetapi dia berdiri dan menampar muka saya, sambiI berkata, "Berani benar kau ulltuk bersuara keras jika bicara dengan aku, kau gelandangan, kau perernpuan murahan?" Tangannya besar dan kuat, dan itu adatah tarnparan yang paling keras yang pernah saya terima di muka saya. Kepala saya terayun ke sisi yang satu kemudian ke sisi lainllya. Dinding-dinding dan lantai seakan bergoncang hebat. Saya pegang kepala dengan kedua tangan saya sam pai dapat tenang k e m bali, kemudian saya meĀ­ mandangnya dan m 71 Nawal el-Saadawi Dia lalu mengurung saya sebelum pergi. Sekarang saya tidur di lantai di kamar lain. Dia pulang tengah malam, menarik kain penutup dari tubuh saya, menampar muka saya, dan merebahkan tubuhnya di atas tubuh saya dengan seluruh berat badannya. Saya tetap memejamkan mata dan menyingkirkan tubuh saya. Demikianlah saya tergeletak di bawahnya tanpa bergerak, kosong dari segala berahi, atau rasa nikmat, malahan dari rasa nyeri, tidak merasakan apaĀ­ apa. Sebuah tubuh yang mati tanpa kehidupan sama sekali di dalamnya, seperti sebatang kayu, atau sebuah kaos, atau sepatu kosong. Kemudian pada suatu malam, tubuhnya seakan-akan lebih be rat dari biasa, dan napasnya berbau lain, maka sa va buka mata saya. Ternyata wajah di atas saya bukan wajah l3ayoumi. "Siapa kau?" kata saya. "Bayoumi," jawabnya. Saya mendesak, "Kau bukan Bayoumi. Siapa kau?" "Apa sih bedanya? Bayoumi dan aku adalah sama." Kemudian dia bertanya. "Kau rasakan nikmat?" "Apa y
Jadi agar kuat medan listrik di titik P sama dengan nol, maka titik P harus diletakan 0,1 m di kanan q 1. 9rb+ 4.2 (4 rating) Pertanyaan serupa. Intensitas medan listrik E di suatu titik pada jarak 30 cm dari muatan titik q1 = 5 x 10-19 (dalam udara) dan gaya pada muatan q2 = 4 x 10-10 C yang diletakkan pada jarak 30 cm dari q1 Berdasarka
Home Ā» Quotes Perempuan Di Titik Nol Famous Quotes & Sayings 8 Quotes Perempuan Di Titik Nol Famous Sayings, Quotes and Quotation. If you are losing faith in human nature, go out and watch a marathon. — Kathrine Switzer I used to think that if I made $50,000 I'd be the happiest guy in the world. — Kirk Kerkorian First - Recalled to Life I. The Period II. The Mail III. The Night Shadows IV. The Preparation V. The — Charles Dickens You would have us encourage our sons to prove all things by their own experience, while our daughters must not even profit by the experience of others. — Anne Bronte Did I ever tell you my pet peeve?'No,' I who dress up their pets to look like Little Lord Fauntleroys or cowboys, clowns, ballerinas. As if it's not enough just to be a dog or cat or turtle. — Jerry Spinelli Be kinder than necessary because everyone you meet is fighting some kind of battle — Sukhraj S. Dhillon I wasnt looking for anything when I found you & it somehow made me question what I wanted, was i ready for love? I don't think anyone is ever ready, but when someone makes you feel alive again it's kind of worth the risk ... — Nikki Rowe It is ridiculous to lay down to people where a thing should stand, design everything for them from the lavatory pan to the ashtray. On the contrary, I like people to move their furniture so that it suits them not me!, and it's quite natural and I approve when they bring the old pictures and mementos they have come to love into a new interior, irrespective of whether they are good taste or bad. — Adolf Loos Famous Authors Audrey Flack Sayings Charles Hugh Smith Sayings Corneille Ewango Sayings Emma Jay Sayings Harriet Grey Sayings Joshua Medcalf Sayings Marcia Bartusiak Sayings Mary B. Morrison Sayings Robin Herrera Sayings Sunny Sea Gold Sayings Popular Topics Enjoying Your Weekend Sayings Slim Waist Sayings Walls Cheap Sayings Peace Christian Sayings Arduino Print Double Sayings I'll Never Find Another You Sayings Mr Wrong And Mr Right Sayings She Finally Broke Down Sayings Itemized Sayings Spiels Sayings MALEID | Quotes. #FaktaPria Tak hanya cantik, pria juga menginginkan wanita yang enak dilihat dan memesona. SHARE. MOST READ. RECENT. Bersepeda dari Titik Nol Menuju Nol Emisi Karbon. Olike Indonesia Gelar Nasional Dealer Gathering. Promosi Lagu Baru LALEILMANINO & JKT48 di IG Live.
It looked to me as though this woman who had killed a human being, and was shortly to be killed herself, was a much better person than I. Compared to her, I was nothing but a small insect crawling upon the land amidst millions of other insects. Page Number and Citation 6 Explanation and Analysis That love of the ruler and love of Allah were and one indivisible. Allah protect our ruler for many long years and may he remain a source of inspiration and strength to our country, the Arab Nation and all Mankind. Page Number and Citation 15 Explanation and Analysis All I can remember are two rings of intense white surrounded by two circles of intense black. I only had to look into them for the white to become whiter and the black even blacker, as though sunlight was pouring into them from some magical source neither on earth, nor in the sky. Related Symbols Eyes Page Number and Citation 21-22 Explanation and Analysis I knew that women did not become heads of state, but I felt that I was not like other women, nor like the girls around me who kept talking about love, or about men. For these were subjects I never mentioned. Somehow I was not interested in the things that occupied their minds, and what seemed of importance to them struck me as being trivial. Related Characters Firdaus speaker Page Number and Citation 32 Explanation and Analysis ā€œFirdaus has grown, your holiness, and must be married. It is risky for her to continue without a husband. She is a good girl, but the world is full of bastards.ā€ Page Number and Citation 48 Explanation and Analysis All I know is that anything I would have to face in the world had become less frightening than the vision of those two eyes, which sent a cold shiver running through my spine whenever I remembered them. Related Symbols Eyes Page Number and Citation 56 Explanation and Analysis At night [Sheikh Mahmoud] would wind his legs and arms around me and let his old, gnarled hands travel all over my body, like the claws of a starving man who has been deprived of real food for many years wipe the bowl of food clean, and leave not a single crumb behind. Page Number and Citation 57 Explanation and Analysis She replied that it was precisely men well versed in their religion who beat their wives. The precepts of religion permitted such punishment. A virtuous woman was not supposed to complain about her husband. Her duty was perfect obedience. Page Number and Citation 59 Explanation and Analysis It was though I was seeing the eyes that now confronted me for the first time. Two jet black surfaces that stared into my eyes, travelled with an infinitely slow movement over my face, and my neck, and then dropped downwards gradually over my breast, and my belly, to settle somewhere just below it, between my thighs. Related Symbols Eyes Page Number and Citation 66 Explanation and Analysis I never used to leave the house. In fact, I never even left the bedroom. Day and night I lay on the bed, crucified, and every hour a man would come in. Page Number and Citation 76 Explanation and Analysis I realized this was the first time in my life I was eating without being watched by two eyes gazing into my plate to see how much food I took. Ever since I was born those two eyes had always been there, wide open, staring, unflinching, following every morsel of food on my plate. Page Number and Citation 89 Explanation and Analysis How many were the years of my life that went by before my body, and my self really became mine, to do with them as I wished? How many were the years I lost before I tore my body and my self away from the people who held me in their grasp from the very first day? Related Characters Firdaus speaker Related Symbols Money Page Number and Citation 93 Explanation and Analysis I was prepared to do anything to put a stop to the insults that my ears had grown used to hearing, to keep the brazen eyes from running all over my body. Page Number and Citation 99 Explanation and Analysis After I had spent three years in the company, I realized that as a prostitute I had been looked upon with more respect, and been valued more highly than all the female employees, myself included. Related Characters Firdaus speaker Page Number and Citation 102 Explanation and Analysis As a prostitute I was not myself, my feelings did not arise from within me. Nothing could really hurt me and make me suffer then the way I was suffering now. Never had I felt so humiliated as I felt this time. Perhaps as a prostitute I had known so deep a humiliation that nothing really counted. Page Number and Citation 116 Explanation and Analysis A successful prostitute is better than a misled saint. All women are victims of deception. Men impose deception on women and punish them for being deceived, force them down to the lowest level and punish them for falling so low, bind them in marriage and then chastise them with menial service for life, or insults, or blows. Page Number and Citation 117 Explanation and Analysis I knew that my profession had been invented by men, and that men were in control of both our worlds, the one on earth, and the one in heaven. That men force women to sell their bodies at a price, and that the lowest paid body is that of a wife. All women are prostitutes of one kind or another. Because I was intelligent, I preferred to be a free prostitute, rather than an enslaved wife. Related Characters Firdaus speaker Page Number and Citation 124 Explanation and Analysis One day, when I donated some money to a charitable association, the newspapers published pictures of me and sang my praises as the model of a citizen with a sense of civic responsibility. And from then on, whenever I needed a dose of honor and fame, I had only to draw some money from the bank. Related Characters Firdaus speaker Related Symbols Money Page Number and Citation 124 Explanation and Analysis Why was it that I had never stabbed a man before? I realized that I had been afraid, and that the fear had been with me all the time, until the fleeting moment when I read fear in [Marzouk’s] eyes. Related Symbols Eyes Page Number and Citation 134 Explanation and Analysis ā€œI am not a prostitute. But right from my early days my father, my uncle, my husband, all of them, taught me to grow up as a prostitute.ā€ Related Symbols Money Page Number and Citation 135 Explanation and Analysis In prison, they kept me in a room where the windows and doors were always shut. I knew why they were so afraid of me. I was the only woman who had torn the mask away, and exposed the face of their ugly reality. Related Characters Firdaus speaker Page Number and Citation 137 Explanation and Analysis No matches.
Keburutakut enggak paham aja. Jadi aku baca bertahap aja, dan ini lah beberapa list buku feminisme untuk pemula yang baru mau belajar. 01. Perempuan di Titik Nol. Buku feminisme yang pertama kali aku baca adalah novel dahulu, baru baca buku non-fiksi. Novel feminisme yang kubaca pertama kali adalah Perempuan di Titik Nol, buku yang ditulis
Home › Perempuan Di Titik Nol Quotes Happy to read and share the best inspirational Perempuan Di Titik Nol quotes, sayings and quotations on Wise Famous Quotes. We live in a world where art exists in galleries and museums, and musicians have to play the same venues over and over. — Doug Aitken For those of you who are underrepresented in technology, know that you've always been here. Look in photos and see yourself reflecting back. — Megan Smith Anyone who needs more than one suitcase is a tourist, not a traveler — Ira Levin Wedding the point at which a man stops toasting a woman and begins roasting her. — Helen Rowland People who want alternative information have to try so hard to find it. — Edwidge Danticat My brother never had me to dinner in his life. — Burt Lancaster The danger is, you have a formula and you just repeat it. — Martin Parr You can discern the pessimist from the optimist by just looking at how people react to snow. — Iveta Cherneva Judaism is a brilliant religion, and the main function of Judaism is to learn and read. — Leon Charney In convent, I live for 4 months in a broom closet. I do not rot. — Helena
TentangSebuah Perjalanan. semakin dewasa, kelak kamu akan dihadapkan dengan banyak pilihan. Dan kamu akan sadar, apa yang harus lebih di prioritaskan. apa yang sepantasnya diperjuangkan atau mungkin di ikhlaskan. Pernah terlintas di pikiran tentang angan-angan, Tentang mimpi yang sekiranya dapat terealisasikan. Diskusi Dialog Nona BEM FH UB Foto P3 BEM FH UB Malang, FH UB – On Friday, May 26, 2023, the Ministry of Women’s Protection and Empowerment at the Student Executive Board of the Faculty of Law, Universitas Brawijaya P3 BEM FH UB held a discussion titled ā€œDialogue of Nona.ā€ The discussion was held in one of the Malang Creative Center’s MCC discussion rooms. The dialogue of Nona discussed patriarchy and social inclusion through a book review entitled ā€œPerempuan di Titik Nolā€ in English, ā€œWoman at Point Zeroā€ by Nawal El Saadawi. The discussion participants and the resource person discussed patriarchal practices toward women through this book. Social inclusion is a term that describes the efforts of an institution to elevate the dignity of society and individual independence as the main capital to achieve a better quality of life. Social inclusion can also be said to be an approach used to protect rights and enhance roles, status, and conditions, as well as the abilities and dignity of individuals and groups of women and men. Gender-based disparities and inequalities can hinder some people, such as women, persons with disabilities, and other vulnerable groups, from gaining access, participating, controlling, and experiencing the benefits of development. The material for this discussion was delivered by Miri Pariyas Tutik Fitriya from Malang Corruption Watch MCW and guided by moderator Nadira Salsabila, a functionary of the Ministry of P3 BEM FH UB. The presentation of the material accompanied by dialectics makes it easier for participants to learn from the opinions of those around them. Miri Pariyas Tutik Fitriya from Malang Corruption Watch MCW when presenting material Photo P3 BEM FH UB Participants in the Dialogue of Nona were not only women but also men. The elimination of the patriarchal system in society requires public awareness, not only among women but also among men, who also need to be aware of the patriarchal system, which is detrimental to women. ā€œBy dissecting this book, we can learn about the more concrete nature of patriarchy and social inclusion and learn from real stories that are happening around us,ā€ said Febi Ola Purba, Chief Executive of the Dialogue of Nona. Febi hopes that ā€œThis Dialogue of Nona can be a form of struggle for feminism, which starts from a small scope, namely ourselves. Hopefully, this activity will have an impact on all those present at this discussion.ā€ Author Student Affairs at FH UB Editor Endrianto Bayu Setiawan Translator Maheswari Trinanda Putri Read more articles Andajuga dapat memberikan ucapan ulang tahun untuk perusahaan dengan kata-kata islami dan berisi doa. Berikut contohnya: " Selamat ulang tahun (nama perusahaan). Semoga hari yang penuh makna ini menjadi titik awal dari perubahan yang lebih baik lagi. Semoga Allah memberi berkah atas semua yang terjadi di dalamnya.".
Penelitian ini bertujuan untuk membedah dan melihat kontruksi sosial yang diturunkan oleh sistem patriarki dan kapitalisme terhapap ketertindasan perempuan di dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi yang diterjemahkan oleh Amir Sutarga. Penelitian ini dirancang dalam bentuk penelititan kualitatif deskriptif dengan menggunakan teori kritik sastra ā€œfeminisme sosialisā€ dalam analisis data. Hasil dari penelitian ini menemukan bentuk bentuk ketidak adilan gender dan ketertindasan perempuan dengan perspektif feminisme sosialis yang terangkum dalam 3 yaitu Firdauz dalam pusaran kekerasan dan pelecehan sexual, Firdauz wajah kesengsaraan Subordinasi, Marginalisasi dan pertukaran tubuh atas ekonomi keluarga. To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the KhairatunnisaThis research was motivated by the use of media in learning. The purpose of this study was to describe anxiety in the novel Women's Room by Agus Subakir and Beauty is Wounded by Eka Kurniawan in terms of form, causes, and implementation in Indonesian language learning. The research method used is descriptive qualitative research method, with a literature review approach. The data sources of this research are in the form of words, phrases, and sentences related to the implementation of Indonesian language learning contained in the two novels. Data collection techniques used reading and note-taking techniques. The results of this study indicate that both novels emphasize the desire to gain a sense of security, get out of anxiety, and find peace. Likewise with the implementation of Indonesian language learning which expects a conducive learning situation so that students feel safe and comfortable with the way the teacher does learning in Sastra Feminis, Teori dan AplikasinyaSugihastuti SuhartoSuharto, Sugihastuti 2005. Kritik Sastra Feminis, Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta Pustaka Setaraan Gender di dalam Novel Perempuan di Titik NolSuparmanSuparman. 2020. Ketidak Setaraan Gender di dalam Novel Perempuan di Titik Nol. Jurnal Telaga Bahasa 7 1 97-108Perempuan di Titik Nol Women at Point Zero Nawal el-SaadawiAmir SutargaaSutargaa, Amir 2006. Perempuan di Titik Nol Women at Point Zero Nawal el-Saadawi. Yayasan Obor Penelitian Ekologi Sastra KonsepEndraswara SuwardiSuwardi, Endraswara 2016. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra Konsep, Langkah, dan Penerapan. Yogyakarta CAPS.
List7 wise famous quotes about Narbona Miami: The ability to manage your emotions and remain calm under pressure has a direct link to your performance. Perempuan Di Titik Nol Quotes ; Pete Souza Quotes ; Littleton's Quotes ; Kleefeld Quotes ; Namoro Online Quotes ; Moyenne Calculator Quotes ; Eikonic Academy Quotes ;
w7Jz.
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/752
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/602
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/24
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/390
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/651
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/331
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/597
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/375
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/5
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/871
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/173
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/537
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/789
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/388
  • 6vh4qe44d7.pages.dev/787
  • perempuan di titik nol quotes